Monday, December 22, 2014

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN HAK ASASI MANUSIA ”PANDANGAN ISLAM DAN UUD"

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Setelah demokrasi, pengakuan Hak Asasi Manusia ( HAM ) merupakan elemen penting untuk mewujudkan sebuah Negara yang berkeadaban (civilized nation). Demokrasi dan Hak Asasi Manusia ibarat dua mata yang saling menopang dengan yang lainnya. Jika dua unsur ini berjalan dengan baik, pada akhirnya akan melahirkan sebuah tatanan masyarakat madani yang demokratis, egaliter, dan kritis terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM ).
Kata Hak Asasi Manusia ( HAM ) terkesan akrab dan seakan akan sudah dimengerti begitu saja. Namun apa dan bagaimana sebenarnya makna dan hakikat dari Hak Asasi Manusia ( HAM ) mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan dihayati, sehingga perbincangan tentang Hak Asasi Manusia ( HAM ) bisa saja tidak menyentuh makna dan hakikat substansi serta dilakukan secara tidak jelas. Untuk itu, penulis ingin menjalaskan kembali dan mengupas arti dan hakikat Hak Asasi Manusia ( HAM ) secara lebih terperinci lagi, dan mungkin ada keganjilan dalam  makalah / isi yang penulis paparkan mohan dimaafkan, dan mohon kritikan para pembaca apabila ada kata-kata yang tidak dimengerti.

1.2  Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Hak Asasi Manusia ( HAM )?
2.      Bagaimana perkembangan HAM di Indonesia?
3.       Apa pandangan Islam tentang HAM?
1.3  Tujuan Penulisan
1.      Untuk menjelaskan pengertian tentang HAM
2.      Untuk mengetahui perkembangan HAM di Indonesia
3.      Untuk mengetahui pendapat agama Islam tentang HAM

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia
            Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa ( PBB ), hak asasi manusia adalah hak - hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang, sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang pasal 28A tahun 1945, yang bunyinya: “ Setiap orang berhak hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
            Senada dengan pengertian di atas pernyataan hak asasi yang dikemukakan oleh John Locke. Menurut John Locke, hak asasi manusia adalah hak - hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. Ia adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atua lembaga kekuasaan.
            Hak asasi manusia ini tertuang dalam Undang - Undang ( UU ) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam salah satu bunyi pasalnya ( pasal 1 ) secara tersurat dijelaskan bahwa “ Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugrah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.    

2.2 Perkembangan Hak Asasi Manusia
      1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
            Kalangan ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari kawasan Eropa. Kemunculannya dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja - raja. Kekuasaan absolut raja, seperti menciptakan hukum namun tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat, menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sejak lahirnya Magna Charta pada tahun 1215, raja yang melanggar aturan kekuasaan harus diadili dan mempertanggung-  jawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih sangat dominan dalam hal pembuatan undang – undang, Magna Charta telah menyulut ide tentang keterikatan kekuasaan mereka kepada rakyat.
            Pada tahun 1689 lahir Undang – Undang Hak Asasi Manusia ( Bill of  Rights ) di Inggris. Pada masa ini juga muncul istilah equality before the law atau manusia adalah sma di muka hukum. Dari pandangan tersebut mendorong timbulnya wacana negara hukum dan negara demokrasi. Menurut Bill of Rights, asas persamaan harus diwujudkan betapa pun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan maka hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk mewujudkan persamaan hak warga negara tersebut lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengn perkembangan dan karakter masyarakat Eropa dan Amerika yaitu adalah Kontrak Sosial ( J. J. Rousseu ), Trias Politika ( Montesquieu ), Teori Hukum Kodrati ( John Locke ), dan hak - hak dasar Persamaan dan Kebebasan ( Thomas Jefferson ).
            Teori kontrak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antarapenguasa   ( raja ) dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan - ketentuannya mengikat pada kedua belah pihak. Menurut kontar sosial, raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan demi hak alamiah manusia terjamin dan terlaksana secara aman. Sedangkan disisi lain rakyat akan menaati hak – hak alamiah mereka terjamin.
            Trias politika adalah teori tentang sistem politik yang membagi kekuasaan pemerintahan negara dalam tiga komponen: pemerintah ( eksekutif ), parlemen ( legislatif ), dan kekuasaan peradilan ( yudikatif ). Adapun Teori Kodrati Locke menyatakan bahwa di dalam masyarakat manusia ada hak – hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan kepada negara. Bagi Locke hak dasar ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak. Hak – hak kodrati dari John Locke terdiri dari hak at s kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi dalam perkembangannya.
            Hak – hak dasar Persamaan dan Kebebasan Thomas Jefferon banyak dipengaruhi terutama oleh Locke. Menurut Jefferon, didasarkan pada teori Locke tersebut, ia berpendapat bahwa semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugrahi beberapa hak yang tidak terpisah – pisah, di antaranya hak kebebasan dan tuntunan kesenangan. Jefferon menyampaikan hak – hak dasar ini dalam The American Declaration of Independence pada   4 juli 1776, sekaligus menandai perkembangan HAM paska Bill of Rights.
            Pada 1789 lahir Deklerasi Perancis ( The French Declaration ). Deklerasi ini memuat aturan – aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenang – wenang tanpa alasan yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang berwenang. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip – prinsip HAM lain seperti freedom of religion ( kebebasan beragama ), The right of property ( perlindungan hak milik ) dan hak-hak dasar lainnya.
            Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak kebebasan manusia ( the four freedoms ) di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang diproklamirkan oleh Presiden Roosevelt. Keempat hak itu adalah: hak kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak kebebasan dari kemiskinan; dan hak kebebasan dari rasa takut. Pada tahun 1944 dalam Konferensi Buruh Internasional di philadelphia menghasilkan deklerasi yaitu pentingnya menciptakan perdamaian dunia bedasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia mencakup ras, keperayaan, dan jenis kelaminnya. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklerasi Universal HAM ( DUHAM ) yang dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Decleration of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948. Menurut DUHAM, terdapat 5 jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal ( hak jaminan kebutuhan pribadi ); hak legal ( hak jaminan prlindungan hukum ); hak sipil dan politik; hak subsitensi ( hak jaminan adanya sumber daya untukmenunjang kehidupan ); dan hak ekonomi, sosial dan budaya.
            Menurut pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik meliputi :
1.hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi; 2. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan; 3. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam; 4. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi; 5. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif; 6. Hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak; 7. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik; 8. Hak atas satu kebangsaan; 9. Hak bebas berfikir, berkesadaran, dan beragama; 10. Hak bebas berfikir dan menyatakan pendapat; 11. Hak atas akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
            Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi :
1.Hak atas jaminan sosial; 2. Hak untuk bekerja; 3. Hak untuk bergabung dalam serikat-serikat buruh; 4. Hak atas istirahat dan waktu senggang; 5. Hak atas pendidikan; 6. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan; 7. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masyarakat.
      2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948
            Secara garis besar perkembangan pemikiran tentang HAM dibagi menjadi 4 kurun generasi: Generasi pertama, menurut generasi ini pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum dan politik. Generasi kedua, pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga menyerukan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Generasi ketiga, generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam satu bagian integral yang dikenal dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan ( the rights of development ). Generasi keempat, peran dominan negara dalam proses pembangunan ekonomi dan kecendrungan pengabaian aspek kesejahteraan rakyat mendapat sorotan tajam kalangan generasi HAM ini.
      3. Perkembangan HAM di Indonesia
            a. Periode sebelum kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi oetomo merupakan organisasi pergerakan nasional pertama yang menyuarakan kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemerintah kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar. Inti dari perjuangan Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Begitu juga dengan perjuangan para tokoh perhimpunan Indonesia seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo , A. Maramis, lebih menekankan perjuangan HAM  melalui wacana hak menetukan nasib sendiri ( the right of self determination ) masyarakat terjajah. Sedangkan kalangan tokoh pergerakan Sarekat Islam, Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim, menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial yang dilakukan  pemerintah kolonial.

b. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – Sekarang )
            1. Periode 1945 – 1950
            Pemikiran HAM terus pada periode awal paska kemerdekaan masih menekankan pada wacana hak untuk merdeka (self determination), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat tertama di parlemen. Wacana HAM masih dapat dicirikan pada:
Ø  Bidang sipil dan politik, melalui:
-          UUD 1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasa l27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Penjelasan Pasal 24 dan 25)
-          KUHP Pasal 99
-          Maklumat pemerintah 1, 3 dan 14 November 1945
-          KRIS, khususnya Bab V Pasal 7-33
Ø  Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui:
-          UUD 1945 ( Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34, Penjelasan Pasal 31 dan 32 )
-          KRIS Pasal 36-40
2. Periode 1950-1959
Pada periode ini dikenal dengan masa demokrasi parlementer. Sejarah pemikiran HAM pada periode ini dicatat masa yang sangat cepat kondusif bagi sejarah perjalanan HAM di Indonesia. pada periode ini juga menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM:
Ø  Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi
Ø  Adanya kebebasan pers
Ø  Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratis
Ø  Kontrol parlemen atas eksekutif
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi 2 konvensi internasional HAM yaitu:
Ø  Empat Konvensi Geneva 1949 dengan UU No. 59 Tahun 1958 mencakup perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang dan perlindungan sipil di waktu perang
Ø  Tentang Hak Politik Perempuan dengan UU No. 68 Tahun 1958 mencakup hak perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan untuk menempati jabatan publik.

3. Periode 1959-1966 dan 1966-1998
Pada periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal, digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno. Melalui demokrasi tepimpin kekuasaan tepusat di tangan Presiden. Presiden tidak dapat dikontro oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI seumur hidup.
Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI menimbulkan gejolak politik yang ditandai oleh ketidaksukaan kelompok meliter (TNI) dan elemen-elemen politik dari kalangan nasionlis dan kelompok-kelompok agama, khususnya Islam. Akhir dari kediktatoran pemerintahan Presiden Soekarno adalah berakhirnya pemerintahan melalui kudeta berdarah yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30 September 1965. Akhir pemerintahan Presiden Soekarno sekaligus sebagai awal naiknya era pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan sebutan era Orde Baru. Ia menggantikan Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Pada mula tahun 1966-1998 lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan HAM  di Indoesia. Pada tahun 1967 Orde Baru merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Dan pada tahun 1968 gagasan tersebut ditindaklanjuti dengan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji material (judicial riview) dilakukan guna melindungi HAM. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an.setelah mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti HAM yang dianggapnya sebagai produk Barat. HAM dan demokrasi dinilai oleh Orde Baru yang militeristik sebagai produk Barat yang individualistik dan bertentangan dengan prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Adapun butir-butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:
a.                          HAM adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
b.                           Bangsa Indonesia lebih dahulu mengenal HAM yang tetuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir dulu dibandingkan dengan Deklarasi Universal HAM.
c.                          Isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Di tengah kuatnya peran Orde Baru, suara yang memperjuangkan penegakan HAM dilakukan kalangan organisasi non pemerintah (organisasi sosial kemasyarakatan) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya tersebut membuahkan hasil yang mengembirakan di awal 90-an. Satu diantara sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan HAM tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tetanggal
7 Juni 1993. Sikap akomodaif pemerintah Orba ditunjukkan dengan dukungan pemerintah meratifikasi tiga konvensi HAM: Konvensi tentang penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No. 7 tahun 1948, Konvensi Anti-Apartheid dalam Olah Raga melalui UU No. 48 Tahun 1993, dan Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
4. Periode Paska Orde Baru
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM. Pada masa pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan pemerintahan era reformasi. Keseriusan pemerintah dalam perbaikan pelaksana HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM bersandarkan pada empat pilar yaitu: 1. Persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM; 2. Diseminasi iformasi dan pendidikan bidang HAM; 3. Penentuan skala prioritas pelaksaan HAM; 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
Komitmen Pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukkan dengan pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pembentukan Kantor Mentri Negara Urusan HAM pada tahun 1999 yang kemudian digabungkan pada tahun 2000 dengan Departemen Hukum dan perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan HAM, penambahan pasal khusus tentang HAM dalam Amandemen UUD 1945 pada tahun 2000. Secara operasional, beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun1999 tentang HAM sebagai berikut: Hak untuk hidup, Hak berkeluarga, Hak mengembangkan diri, Hak memperoleh keadilan, Hak atas rasa aman, Hak atas kesejahteraan, Hak turut serta dalam pemerintahan, Hak wanita, Hak anak. Adapun Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Perubahan Undang-undang Dasar 1945 terdapat dalam Bab X A sebagai berikut: Pasal 28 A (hak hidup dan mempertahankan hidup), pasal 28 B ayat 1 (hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan), Pasal 28 B ayat 2, Pasal 28 C ayat 1, Pasal 28 C ayat 2, Pasal 28 D ayat 1, Pasal 28 D ayat 3, Pasal 28 D ayat 4, Pasal 28 E ayat 1, Pasal 28 E ayat 2, Pasal 28 E ayat 3, Pasal 28 F, Pasal 28 G ayat 1, Pasal 28 G ayat 2, Pasal 28 H ayat 1, Pasal 28 H ayat 1, Pasal 28 H ayat 2, Pasal 28 H ayat 3, Pasal 28 H ayat 4, Pasal 28 I ayat 1, Pasal 28 I ayat 2.

2.3 Islam dan Hak Asasi Manusia
            Islam adalah agama universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Ajaran Islam mengandung unsur-unsur keyakinan (aqidah) memuat ajaran tentang keimanan; ritual (ibadah) memuaat ajaran tentang mekanisme pengabdian manusia terhadap Allah; dan pergaulan sosial (mua’malat) yang memuat ajaran tentang hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar. Seluruh unsur-unsur ajaran tersebut dilandasi ole ketentuan-ketentuan yang disebut dengan istilah syari’at (fiqih) yang mana dalam konteks inilah terdapat ajaran HAM. Sebagai agama kemanusiaan Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat mulia. Manusia digambarkan oleh Al-qur’an sebagai makhluk yang paling sempurna dan harus dimuliakan. Abu A’la al-Maududi menyatakan bahwa HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan Allah itu bersifat permanen, kekal, dan abadi.
            Menurut kalangan ulama Islam ada dua konsep tentang hak dalam Islam: Hak manusia (haq al insan) dan Hak Allah. Satu dan lainnya saling terkait dan saling melandasi. Hak Allah melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya, sehingga dalam prakteknya tidak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Hak Tuhan dan hak manusia dalam Islam terpancar dalam ajaran ibadah sehari-hari. Sednagkan hak manusia seperti hak kepemilikan, setiap manusia berhak mengelola harta yang dimiliki. Namun dalam Islam menekankan bahwa pada setiap hak manusia terdapat hak Allah, jadi meskipun kita berhak mengelola dan memanfaatkan harta yang kita miliki tetapi tidak boleh menggunakan harta tersebut untuk tujuan yang bertentangan dengan  ajaran Islam. Sebagi ajaran kemanusiaan, Islam menekankan bahwa hak kepemilikan harus memiliki nilai sosial. Harta kekeayaan yang dimiliki harus diorientasikan bagi kesejahteraan umat manusia. Hal ini didasari oleh pandangan teologis bahwa hanya Allahlah satu-satunya pemilik absolut harta yang ada di tangan manusia. Menurut Islam, hak dan kewajiban adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Bahkan dalam Islam disebutkan bahwa dalam harta yang dimiliki oleh seseorang terdapat hak orang lain. Konsep Islam tentang HAM berpijak pada ajaran tauhid yaitu: mencakup sebuah pembebasan manusia, mengandung ide persamaan dan persaudaraan manusia, mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk. Pandangan tersebut di tegaskan oleh Harun Nasution dan Bachtiar Effendi sebagai ide peri kemakhlukan dalam Islam, yang mengandung makna bahwa manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap sesama makhluk termasuk juga pada binatang dan alam sekitar.
            Konsepsi Islam tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam, Al-qur’an dan Hadist. Keduanya adalah ajaran normatif. Terdapat dua prinsip pokok HAM dalam Piagam Madinah: pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka berbada suku, bangsa; kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim didasarkan pada prinsip-prinsip: 1) berinteraksi secara baik dengan sesama tetangga, 2) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, 3) membela mereka yang teraniaya, 4) saling menasehati, 5) menghormati kebebasan beragama. Sedangkan ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklerasi Kairo adalah: 1). Hak persamaan dan kebebasan yang bersandar pada ajaran al-Qur’an surat ( al-Isra’:70; an-Nisa:58,105,107,135; al-Mumtahanah:8), 2). Hak hidup surat (al-Maidah:45; al-Isra’:33), 3). Hak perlindungan diri surat (al-Balad:12-17; at-Taubah:6), 4). Hak kehormatan pribadi surat (at-Taubah:6), 5). Hak berkeluarga surat (al-Baqarah:221; al-Rum:21; an-Nisa:1; at-Tahrim:6), 6). Hak kesetaraan wanita dengan pria surat (al-Baqarah:228; al-Hujurat:13), 7). Hak anak dari orang tua surat (al-Baqarah:233; al-Isra:23-24), 8). Hak mendapatkan pendidikan surat (at-Taubah:122; al-‘Alaq:1-5), 9). Hak kebebasan beragama surat (al-Kafirun:1-6; al-Baqarah:156; al-Kahfi:29), 10). Hak kebebasan mencari suara surat (an-Nisa:97; al-Mumtahanah:9), 11). Hak memperoleh pekerjaan surat (at-Taubah:105; al-Baqarah:286; al-Mulk:15), 12). Hak memperoleh perlakuan yang sama surat (al-Baqarah:275-278; an-Nisa:161; al-Imran:130), 13). Hak kepemilikan surat (al-Baqarah:29; an-Nisa:29), 14). Hak tahanan surat (al-Mumtahanah:8).
            Menurut tingkatannya, ada 3 bentuk ha asasi manusia dalam Islam. Pertama, hak darury (hak dasar),sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Contoh : hak untuk hidup, hak atas keamanan, dan hak untuk memiliki harta benda. Kedua, hak sekunder (hajy), yakni hak-hak dasarnya sebagai manusia. Contoh: jika seorang tidak memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan berakibat hilangnya hak hidup. Ketiga, hak tersier (tahsiny) yakni hak yang tingkatannyalebih rendah dari hak primer dan sekunder. Diskriminasi terhadap wanita seringkali justifikasi keagamaan. Selain laki-laki dianggap lebih pantas menjadi pemimpin dari pada perempuan, sektor publik diklaim hanya boleh diduduki laki-laki. Landasan utama keagamaan yag sering dijadikan sandaran pandangan ini adalah Q.S. Al-Nisa:34 yang menyatakan bahwa “laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (الرجال قؤامؤن على النساء) .
            Kata قؤامؤن dalam ayat ini selalu diartikan dengan “kepemimpinan” kaum laki-laki atas perempuan. Umumnya ayat ini dipahami secara parsial, dari penggalan sebuah ayat yang panjang jika diamati secara seksama, terusan kalimat ayat tersebut menyebutkan dua alasan mengapa laki-laki dianggap sebagai pemegang kepemimpinan seperti tertuang dalam potongan ayat tersebut. Pertama, “karena Allah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas yang lain”. Kedua, “karena laki-laki memberi nafkah dari sebagian hartanya”. Alasan pertama menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan, sedangkan alasan kedua menunjukkan bahwa superioritas laki-laki adalah akibat langsung dari nafkah yang dimiliki atau yang diberikan. Keunggulan laki-laki atas perempuan karena mereka memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri. Oleh karena itu, status potongan ayat tersebut pada laki-laki menurut Fazlur Rahman bersifat relatif, fungsional, dan seperti dinyatakan oleh Ali Asghar Enginer, bersifat kontekstual.      
            Pada faktanya, dalam Islam terdapat banyak teks kitab suci al-Qur’an yangmenjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, redaksi al-Qur’an yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memperoleh imbalan yang sesuai dengan perbuatannya masing-masing, seperti tertuang pada surat an-Nisa:124 dan al-Baqarah:228.
            Dalam lapangan sosial, Islam mnekankan kemuliaan manusia bedsarkan peran sosialnya, bukan jenis kelaminnya. Kualitas manusia menurut Islam diukur dari tingkat kebermanfaatan seseorang bagi orang sekitarnya. Nabi SAW bersabda, yang artinya:” Sebaik-baiknya kamu adalah yang paling berguna bagi manusia yang lain”. Dalam persfektif HAM dan Islam, seorang (muslim) warga negara yang baik adalah mereka yang menghormati dan menjaga hak orang lain. Penghormatan atas hak asasi orang lain tidak lain sebagai upaya menjadikan hidup berguna bagi orang lain. Suatu hari Nabi SAW pernah berkata:” Seorang Muslim adalah individu yang mampu menjadikan saudaranya merasa aman dari (kejahatan) tangan dan perkataannya.” Jika demikian, Islam tidak lain adalah agama HAM.
                             
















BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN 
Bahwa Hak Asasi Manusia dalam sudut pandang Islam dan Undang-Undang Dasar mempunyai satu kesatuan dan pengertian yang sama, dan memiliki perbedaan yang jauh. Undang-undang HAM berasal melalui pemikiran-pemikiran para pengamat hukum yang memiliki waktu proses yang sangat panjang dimulai dari periode sebelum kemerdekaan (1908-1945), periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang) hingga menyelerasi -kan dengan masyarakat di Indonesia. Sedangkan dalam agama Islam juga mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Islam juga mempunyai dalil-dalil atau landasan-landasan yang kuat tentang HAM tersebut, sebagaimana yang yang telah saya paparkan di dalam isi makalah ini.     

Daftar Pustaka

Ubaedillah, Rozak, dkk. 2000.Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan                            Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE bekerja sama The Asia Foundation

No comments:

Post a Comment