BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Setelah demokrasi, pengakuan Hak Asasi Manusia ( HAM ) merupakan
elemen penting untuk mewujudkan sebuah Negara yang berkeadaban (civilized
nation). Demokrasi dan Hak Asasi Manusia ibarat dua mata yang saling menopang
dengan yang lainnya. Jika dua unsur ini berjalan dengan baik, pada akhirnya
akan melahirkan sebuah tatanan masyarakat madani yang demokratis, egaliter, dan
kritis terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM ).
Kata Hak Asasi Manusia ( HAM ) terkesan akrab dan seakan akan sudah
dimengerti begitu saja. Namun apa dan bagaimana sebenarnya makna dan hakikat
dari Hak Asasi Manusia ( HAM ) mungkin belum sepenuhnya dimengerti dan
dihayati, sehingga perbincangan tentang Hak Asasi Manusia ( HAM ) bisa saja
tidak menyentuh makna dan hakikat substansi serta dilakukan secara tidak jelas.
Untuk itu, penulis ingin menjalaskan kembali dan mengupas arti dan hakikat Hak
Asasi Manusia ( HAM ) secara lebih terperinci lagi, dan mungkin ada keganjilan
dalam makalah / isi yang penulis
paparkan mohan dimaafkan, dan mohon kritikan para pembaca apabila ada kata-kata
yang tidak dimengerti.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
pengertian Hak Asasi Manusia ( HAM )?
2.
Bagaimana
perkembangan HAM di Indonesia?
3.
Apa pandangan Islam tentang HAM?
1.3
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk
menjelaskan pengertian tentang HAM
2.
Untuk
mengetahui perkembangan HAM di Indonesia
3.
Untuk
mengetahui pendapat agama Islam tentang HAM
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hak Asasi Manusia
Menurut Teaching Human Right yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa – Bangsa ( PBB ), hak asasi manusia adalah hak - hak yang melekat pada
setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak
hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang
dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya
sebagai manusia akan hilang, sebagaimana tertuang dalam Undang – Undang pasal
28A tahun 1945, yang bunyinya: “ Setiap orang berhak hidup serta mempertahankan
hidup dan kehidupannya”.
Senada dengan
pengertian di atas pernyataan hak asasi yang dikemukakan oleh John Locke.
Menurut John Locke, hak asasi manusia adalah hak - hak yang diberikan langsung
oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena
sifatnya yang demikian maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat
mencabut hak asasi setiap manusia. Ia adalah hak dasar setiap manusia yang
dibawa sejak lahir sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia
atua lembaga kekuasaan.
Hak asasi manusia
ini tertuang dalam Undang - Undang ( UU ) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Dalam salah satu bunyi pasalnya ( pasal 1 ) secara tersurat dijelaskan
bahwa “ Hak Asasi Manusia ( HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan
merupakan anugrah – Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan
harkat dan martabat manusia”.
2.2 Perkembangan Hak Asasi Manusia
1. Sebelum Deklarasi
Universal HAM 1948
Kalangan ahli HAM
menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari kawasan Eropa.
Kemunculannya dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang membatasi kekuasaan
absolut para penguasa atau raja - raja. Kekuasaan absolut raja, seperti
menciptakan hukum namun tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat,
menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan secara hukum.
Sejak lahirnya Magna Charta pada tahun 1215, raja yang melanggar aturan
kekuasaan harus diadili dan mempertanggung-
jawabkan kebijakan pemerintahannya di hadapan parlemen. Sekalipun
kekuasaan para raja masih sangat dominan dalam hal pembuatan undang – undang,
Magna Charta telah menyulut ide tentang keterikatan kekuasaan mereka kepada
rakyat.
Pada tahun 1689
lahir Undang – Undang Hak Asasi Manusia ( Bill of Rights ) di Inggris. Pada masa ini juga
muncul istilah equality before the law atau manusia adalah sma di muka hukum.
Dari pandangan tersebut mendorong timbulnya wacana negara hukum dan negara
demokrasi. Menurut Bill of Rights, asas persamaan harus diwujudkan betapa pun
berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan maka hak kebebasan
mustahil dapat terwujud. Untuk mewujudkan persamaan hak warga negara tersebut
lahirlah sejumlah istilah dan teori sosial yang identik dengn perkembangan dan
karakter masyarakat Eropa dan Amerika yaitu adalah Kontrak Sosial ( J. J. Rousseu
), Trias Politika ( Montesquieu ), Teori Hukum Kodrati ( John Locke ), dan hak
- hak dasar Persamaan dan Kebebasan ( Thomas Jefferson ).
Teori kontrak
sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antarapenguasa ( raja ) dan rakyat didasari oleh sebuah
kontrak yang ketentuan - ketentuannya mengikat pada kedua belah pihak. Menurut
kontar sosial, raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarakan
ketertiban dan keamanan demi hak alamiah manusia terjamin dan terlaksana secara
aman. Sedangkan disisi lain rakyat akan menaati hak – hak alamiah mereka
terjamin.
Trias politika
adalah teori tentang sistem politik yang membagi kekuasaan pemerintahan negara
dalam tiga komponen: pemerintah ( eksekutif ), parlemen ( legislatif ), dan
kekuasaan peradilan ( yudikatif ). Adapun Teori Kodrati Locke menyatakan bahwa
di dalam masyarakat manusia ada hak – hak dasar manusia yang tidak dapat
dilanggar oleh negara dan tidak diserahkan kepada negara. Bagi Locke hak dasar
ini bahkan harus dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan
negara yang mutlak. Hak – hak kodrati dari John Locke terdiri dari hak at s
kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi dalam
perkembangannya.
Hak – hak dasar
Persamaan dan Kebebasan Thomas Jefferon banyak dipengaruhi terutama oleh Locke.
Menurut Jefferon, didasarkan pada teori Locke tersebut, ia berpendapat bahwa
semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugrahi beberapa hak yang
tidak terpisah – pisah, di antaranya hak kebebasan dan tuntunan kesenangan.
Jefferon menyampaikan hak – hak dasar ini dalam The American Declaration of
Independence pada 4 juli 1776,
sekaligus menandai perkembangan HAM paska Bill of Rights.
Pada 1789 lahir
Deklerasi Perancis ( The French Declaration ). Deklerasi ini memuat aturan –
aturan hukum yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti
larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenang – wenang tanpa alasan
yang sah atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga
hukum yang berwenang. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh prinsip – prinsip
HAM lain seperti freedom of religion ( kebebasan beragama ), The right of property
( perlindungan hak milik ) dan hak-hak dasar lainnya.
Perkembangan HAM
selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak kebebasan manusia ( the
four freedoms ) di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941, yang diproklamirkan
oleh Presiden Roosevelt. Keempat hak itu adalah: hak kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai dengan
ajaran agama yang dipeluknya; hak kebebasan dari kemiskinan; dan hak kebebasan
dari rasa takut. Pada tahun 1944 dalam Konferensi Buruh Internasional di
philadelphia menghasilkan deklerasi yaitu pentingnya menciptakan perdamaian
dunia bedasarkan keadilan sosial dan perlindungan seluruh manusia mencakup ras,
keperayaan, dan jenis kelaminnya. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan
Deklerasi Universal HAM ( DUHAM ) yang dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Decleration
of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948. Menurut DUHAM, terdapat 5 jenis hak
asasi yang dimiliki oleh setiap individu: hak personal ( hak jaminan kebutuhan
pribadi ); hak legal ( hak jaminan prlindungan hukum ); hak sipil dan politik;
hak subsitensi ( hak jaminan adanya sumber daya untukmenunjang kehidupan ); dan
hak ekonomi, sosial dan budaya.
Menurut pasal 3-21
DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik meliputi :
1.hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi; 2. Hak bebas
dari perbudakan dan penghambaan; 3. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang kejam; 4. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum dimana saja secara pribadi;
5. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif; 6. Hak untuk peradilan yang
independen dan tidak memihak; 7. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan
dan nama baik; 8. Hak atas satu kebangsaan; 9. Hak bebas berfikir, berkesadaran,
dan beragama; 10. Hak bebas berfikir dan menyatakan pendapat; 11. Hak atas
akses yang sama terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak
ekonomi, sosial, dan budaya meliputi :
1.Hak atas jaminan sosial; 2. Hak untuk bekerja; 3. Hak untuk
bergabung dalam serikat-serikat buruh; 4. Hak atas istirahat dan waktu senggang;
5. Hak atas pendidikan; 6. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang
kesehatan dan kesejahteraan; 7. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang
berkebudayaan dari masyarakat.
2. Setelah Deklarasi
Universal HAM 1948
Secara garis besar
perkembangan pemikiran tentang HAM dibagi menjadi 4 kurun generasi: Generasi
pertama, menurut generasi ini pengertian HAM hanya berpusat pada bidang hukum
dan politik. Generasi kedua, pemikiran HAM tidak saja menuntut hak yuridis
seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga menyerukan hak-hak
sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Generasi ketiga, generasi ini menyerukan
wacana kesatuan HAM antara hak ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum dalam
satu bagian integral yang dikenal dengan istilah hak-hak melaksanakan
pembangunan ( the rights of development ). Generasi keempat, peran dominan
negara dalam proses pembangunan ekonomi dan kecendrungan pengabaian aspek
kesejahteraan rakyat mendapat sorotan tajam kalangan generasi HAM ini.
3. Perkembangan HAM di
Indonesia
a. Periode sebelum
kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi oetomo merupakan
organisasi pergerakan nasional pertama yang menyuarakan kesadaran berserikat
dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada
pemerintah kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar. Inti dari perjuangan
Boedi Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat melalui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Begitu juga
dengan perjuangan para tokoh perhimpunan Indonesia seperti Mohammad Hatta,
Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo , A. Maramis, lebih menekankan perjuangan
HAM melalui wacana hak menetukan nasib
sendiri ( the right of self determination ) masyarakat terjajah. Sedangkan
kalangan tokoh pergerakan Sarekat Islam, Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, Agus
Salim, menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang
layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah kolonial.
b. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – Sekarang )
1. Periode 1945 –
1950
Pemikiran HAM terus pada periode awal paska kemerdekaan masih
menekankan pada wacana hak untuk merdeka (self determination), hak kebebasan
untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan
untuk menyampaikan pendapat tertama di parlemen. Wacana HAM masih dapat
dicirikan pada:
Ø Bidang sipil dan politik, melalui:
-
UUD
1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasa l27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Penjelasan
Pasal 24 dan 25)
-
KUHP
Pasal 99
-
Maklumat
pemerintah 1, 3 dan 14 November 1945
-
KRIS,
khususnya Bab V Pasal 7-33
Ø Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui:
-
UUD
1945 ( Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34, Penjelasan Pasal 31 dan 32 )
-
KRIS
Pasal 36-40
2. Periode 1950-1959
Pada periode ini dikenal dengan masa demokrasi parlementer. Sejarah
pemikiran HAM pada periode ini dicatat masa yang sangat cepat kondusif bagi
sejarah perjalanan HAM di Indonesia. pada periode ini juga menurut catatan
Bagir Manan, masa gemilang HAM Indonesia pada masa ini tercermin pada lima
indikator HAM:
Ø Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi
Ø Adanya kebebasan pers
Ø Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas dan demokratis
Ø Kontrol parlemen atas eksekutif
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi 2 konvensi
internasional HAM yaitu:
Ø Empat Konvensi Geneva 1949 dengan UU No. 59 Tahun 1958 mencakup
perlindungan hak bagi korban perang, tawanan perang dan perlindungan sipil di
waktu perang
Ø Tentang Hak Politik Perempuan dengan UU No. 68 Tahun 1958 mencakup
hak perempuan untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak
perempuan untuk menempati jabatan publik.
3. Periode 1959-1966 dan 1966-1998
Pada periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal,
digantikan oleh sistem demokrasi terpimpin yang terpusat pada kekuasaan
Presiden Soekarno. Melalui demokrasi tepimpin kekuasaan tepusat di tangan
Presiden. Presiden tidak dapat dikontro oleh parlemen, sebaliknya parlemen
dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut,
bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI seumur hidup.
Kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI menimbulkan gejolak politik
yang ditandai oleh ketidaksukaan kelompok meliter (TNI) dan elemen-elemen
politik dari kalangan nasionlis dan kelompok-kelompok agama, khususnya Islam.
Akhir dari kediktatoran pemerintahan Presiden Soekarno adalah berakhirnya
pemerintahan melalui kudeta berdarah yang dikenal dengan peristiwa Gerakan 30
September 1965. Akhir pemerintahan Presiden Soekarno sekaligus sebagai awal
naiknya era pemerintahan Presiden Soeharto yang dikenal dengan sebutan era Orde
Baru. Ia menggantikan Presiden Soekarno melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar).
Pada mula tahun 1966-1998 lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan
baru bagi penegakan HAM di Indoesia.
Pada tahun 1967 Orde Baru merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan
pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Dan
pada tahun 1968 gagasan tersebut ditindaklanjuti dengan seminar Nasional Hukum
II yang merekomendasikan perlunya hak uji material (judicial riview) dilakukan
guna melindungi HAM. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia
mengalami kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an.setelah
mendapatkan mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai
menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti HAM yang dianggapnya
sebagai produk Barat. HAM dan demokrasi dinilai oleh Orde Baru yang
militeristik sebagai produk Barat yang individualistik dan bertentangan dengan
prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Adapun butir-butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep
universal HAM adalah:
a.
HAM
adalah produk Barat yang tidak sesuai dengan nilai luhur budaya bangsa yang
tercermin dalam Pancasila.
b.
Bangsa Indonesia lebih dahulu mengenal HAM
yang tetuang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir dulu dibandingkan dengan
Deklarasi Universal HAM.
c.
Isu
HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia.
Di tengah kuatnya peran Orde Baru, suara yang memperjuangkan
penegakan HAM dilakukan kalangan organisasi non pemerintah (organisasi sosial
kemasyarakatan) atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya tersebut
membuahkan hasil yang mengembirakan di awal 90-an. Satu diantara sikap
akomodatif pemerintah terhadap tuntutan HAM tercermin dalam persetujuan
pemerintah terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
melalui Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993 tetanggal
7 Juni 1993. Sikap akomodaif pemerintah Orba ditunjukkan dengan
dukungan pemerintah meratifikasi tiga konvensi HAM: Konvensi tentang
penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap perempuan melalui UU No. 7
tahun 1948, Konvensi Anti-Apartheid dalam Olah Raga melalui UU No. 48 Tahun
1993, dan Konvensi Hak Anak melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
4. Periode Paska Orde Baru
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di
Indonesia. Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya
rezim militer di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM. Pada masa
pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap pelaksaan HAM
mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirya TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keseriusan
pemerintahan era reformasi. Keseriusan pemerintah dalam perbaikan pelaksana HAM
ditunjukkan dengan pencanangan program HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM
bersandarkan pada empat pilar yaitu: 1. Persiapan pengesahan perangkat
internasional di bidang HAM; 2. Diseminasi iformasi dan pendidikan bidang HAM;
3. Penentuan skala prioritas pelaksaan HAM; 4. Pelaksanaan isi perangkat
internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan
nasional.
Komitmen Pemerintah terhadap penegakan HAM juga ditunjukkan dengan
pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pembentukan Kantor Mentri Negara
Urusan HAM pada tahun 1999 yang kemudian digabungkan pada tahun 2000 dengan
Departemen Hukum dan perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan HAM,
penambahan pasal khusus tentang HAM dalam Amandemen UUD 1945 pada tahun 2000.
Secara operasional, beberapa bentuk HAM yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun1999
tentang HAM sebagai berikut: Hak untuk hidup, Hak berkeluarga, Hak mengembangkan
diri, Hak memperoleh keadilan, Hak atas rasa aman, Hak atas kesejahteraan, Hak
turut serta dalam pemerintahan, Hak wanita, Hak anak. Adapun Hak Asasi Manusia
yang diatur dalam Perubahan Undang-undang Dasar 1945 terdapat dalam Bab X A
sebagai berikut: Pasal 28 A (hak hidup dan mempertahankan hidup),
pasal 28 B ayat 1 (hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan), Pasal
28 B ayat 2, Pasal 28 C ayat 1, Pasal 28 C ayat 2, Pasal 28 D ayat 1, Pasal 28
D ayat 3, Pasal 28 D ayat 4, Pasal 28 E ayat 1, Pasal 28 E ayat 2, Pasal 28 E
ayat 3, Pasal 28 F, Pasal 28 G ayat 1, Pasal 28 G ayat 2, Pasal 28 H ayat 1,
Pasal 28 H ayat 1, Pasal 28 H ayat 2, Pasal 28 H ayat 3, Pasal 28 H ayat 4,
Pasal 28 I ayat 1, Pasal 28 I ayat 2.
2.3 Islam dan Hak Asasi Manusia
Islam adalah agama
universal yang mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu.
Ajaran Islam mengandung unsur-unsur keyakinan (aqidah) memuat ajaran tentang
keimanan; ritual (ibadah) memuaat ajaran tentang mekanisme pengabdian manusia
terhadap Allah; dan pergaulan sosial (mua’malat) yang memuat ajaran tentang
hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan alam sekitar. Seluruh
unsur-unsur ajaran tersebut dilandasi ole ketentuan-ketentuan yang disebut
dengan istilah syari’at (fiqih) yang mana dalam konteks inilah terdapat ajaran
HAM. Sebagai agama kemanusiaan Islam meletakkan manusia pada posisi yang sangat
mulia. Manusia digambarkan oleh Al-qur’an sebagai makhluk yang paling sempurna
dan harus dimuliakan. Abu A’la al-Maududi menyatakan bahwa HAM adalah hak
kodrati yang dianugrahkan Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat
dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan
Allah itu bersifat permanen, kekal, dan abadi.
Menurut kalangan
ulama Islam ada dua konsep tentang hak dalam Islam: Hak manusia (haq al insan)
dan Hak Allah. Satu dan lainnya saling terkait dan saling melandasi. Hak Allah
melandasi hak manusia demikian juga sebaliknya, sehingga dalam prakteknya tidak
bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Hak Tuhan dan hak manusia dalam Islam
terpancar dalam ajaran ibadah sehari-hari. Sednagkan hak manusia seperti hak
kepemilikan, setiap manusia berhak mengelola harta yang dimiliki. Namun dalam
Islam menekankan bahwa pada setiap hak manusia terdapat hak Allah, jadi
meskipun kita berhak mengelola dan memanfaatkan harta yang kita miliki tetapi
tidak boleh menggunakan harta tersebut untuk tujuan yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Sebagi ajaran
kemanusiaan, Islam menekankan bahwa hak kepemilikan harus memiliki nilai
sosial. Harta kekeayaan yang dimiliki harus diorientasikan bagi kesejahteraan
umat manusia. Hal ini didasari oleh pandangan teologis bahwa hanya Allahlah
satu-satunya pemilik absolut harta yang ada di tangan manusia. Menurut Islam,
hak dan kewajiban adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan satu dengan
yang lainnya. Bahkan dalam Islam disebutkan bahwa dalam harta yang dimiliki
oleh seseorang terdapat hak orang lain. Konsep Islam tentang HAM berpijak pada
ajaran tauhid yaitu: mencakup sebuah pembebasan manusia, mengandung ide
persamaan dan persaudaraan manusia, mencakup ide persamaan dan persatuan semua
makhluk. Pandangan tersebut di tegaskan oleh Harun Nasution dan Bachtiar
Effendi sebagai ide peri kemakhlukan dalam Islam, yang mengandung makna bahwa
manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap sesama makhluk termasuk juga pada
binatang dan alam sekitar.
Konsepsi Islam
tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber utama ajaran Islam, Al-qur’an dan
Hadist. Keduanya adalah ajaran normatif. Terdapat dua prinsip pokok HAM dalam
Piagam Madinah: pertama, semua pemeluk Islam adalah satu umat walaupun mereka
berbada suku, bangsa; kedua, hubungan antara komunitas muslim dengan non muslim
didasarkan pada prinsip-prinsip: 1) berinteraksi secara baik dengan sesama
tetangga, 2) saling membantu dalam menghadapi musuh bersama, 3) membela mereka
yang teraniaya, 4) saling menasehati, 5) menghormati kebebasan beragama.
Sedangkan ketentuan HAM yang terdapat dalam Deklerasi Kairo adalah: 1). Hak
persamaan dan kebebasan yang bersandar pada ajaran al-Qur’an surat (
al-Isra’:70; an-Nisa:58,105,107,135; al-Mumtahanah:8), 2). Hak hidup
surat (al-Maidah:45; al-Isra’:33), 3). Hak perlindungan diri surat (al-Balad:12-17;
at-Taubah:6), 4). Hak kehormatan pribadi surat (at-Taubah:6), 5). Hak
berkeluarga surat (al-Baqarah:221; al-Rum:21; an-Nisa:1; at-Tahrim:6),
6). Hak kesetaraan wanita dengan pria surat (al-Baqarah:228; al-Hujurat:13),
7). Hak anak dari orang tua surat (al-Baqarah:233; al-Isra:23-24), 8). Hak
mendapatkan pendidikan surat (at-Taubah:122; al-‘Alaq:1-5), 9). Hak kebebasan
beragama surat (al-Kafirun:1-6; al-Baqarah:156; al-Kahfi:29), 10). Hak
kebebasan mencari suara surat (an-Nisa:97; al-Mumtahanah:9), 11). Hak
memperoleh pekerjaan surat (at-Taubah:105; al-Baqarah:286; al-Mulk:15), 12).
Hak memperoleh perlakuan yang sama surat (al-Baqarah:275-278; an-Nisa:161;
al-Imran:130), 13). Hak kepemilikan surat (al-Baqarah:29; an-Nisa:29), 14). Hak
tahanan surat (al-Mumtahanah:8).
Menurut tingkatannya,
ada 3 bentuk ha asasi manusia dalam Islam. Pertama, hak darury (hak
dasar),sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut dilanggar, bukan hanya
membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang eksistensinya, bahkan hilang
harkat kemanusiaannya. Contoh : hak untuk hidup, hak atas keamanan, dan hak
untuk memiliki harta benda. Kedua, hak sekunder (hajy), yakni hak-hak dasarnya
sebagai manusia. Contoh: jika seorang tidak memperoleh sandang pangan yang
layak, maka akan berakibat hilangnya hak hidup. Ketiga, hak tersier (tahsiny)
yakni hak yang tingkatannyalebih rendah dari hak primer dan sekunder.
Diskriminasi terhadap wanita seringkali justifikasi keagamaan. Selain laki-laki
dianggap lebih pantas menjadi pemimpin dari pada perempuan, sektor publik
diklaim hanya boleh diduduki laki-laki. Landasan utama keagamaan yag sering
dijadikan sandaran pandangan ini adalah Q.S. Al-Nisa:34 yang menyatakan bahwa
“laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan (الرجال قؤامؤن على النساء)
.
Kata قؤامؤن dalam ayat ini selalu diartikan dengan “kepemimpinan” kaum
laki-laki atas perempuan. Umumnya ayat ini dipahami secara parsial, dari
penggalan sebuah ayat yang panjang jika diamati secara seksama, terusan kalimat
ayat tersebut menyebutkan dua alasan mengapa laki-laki dianggap sebagai
pemegang kepemimpinan seperti tertuang dalam potongan ayat tersebut. Pertama,
“karena Allah melebihkan sebagian mereka laki-laki atas yang lain”. Kedua,
“karena laki-laki memberi nafkah dari sebagian hartanya”. Alasan pertama menunjukkan
bahwa tidak semua laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan, sedangkan
alasan kedua menunjukkan bahwa superioritas laki-laki adalah akibat langsung
dari nafkah yang dimiliki atau yang diberikan. Keunggulan laki-laki atas
perempuan karena mereka memiliki aset kekayaan yang mampu menghidupi istri.
Oleh karena itu, status potongan ayat tersebut pada laki-laki menurut Fazlur
Rahman bersifat relatif, fungsional, dan seperti dinyatakan oleh Ali Asghar
Enginer, bersifat kontekstual.
Pada faktanya,
dalam Islam terdapat banyak teks kitab suci al-Qur’an yangmenjamin persamaan
antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, redaksi al-Qur’an yang menyatakan
bahwa laki-laki dan perempuan memperoleh imbalan yang sesuai dengan
perbuatannya masing-masing, seperti tertuang pada surat an-Nisa:124 dan
al-Baqarah:228.
Dalam lapangan
sosial, Islam mnekankan kemuliaan manusia bedsarkan peran sosialnya, bukan
jenis kelaminnya. Kualitas manusia menurut Islam diukur dari tingkat
kebermanfaatan seseorang bagi orang sekitarnya. Nabi SAW bersabda, yang
artinya:” Sebaik-baiknya kamu adalah yang paling berguna bagi manusia yang
lain”. Dalam persfektif HAM dan Islam, seorang (muslim) warga negara yang baik
adalah mereka yang menghormati dan menjaga hak orang lain. Penghormatan atas
hak asasi orang lain tidak lain sebagai upaya menjadikan hidup berguna bagi
orang lain. Suatu hari Nabi SAW pernah berkata:” Seorang Muslim adalah individu
yang mampu menjadikan saudaranya merasa aman dari (kejahatan) tangan dan
perkataannya.” Jika demikian, Islam tidak lain adalah agama HAM.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Bahwa Hak Asasi Manusia dalam sudut pandang Islam dan Undang-Undang
Dasar mempunyai satu kesatuan dan pengertian yang sama, dan memiliki perbedaan
yang jauh. Undang-undang HAM berasal melalui pemikiran-pemikiran para pengamat
hukum yang memiliki waktu proses yang sangat panjang dimulai dari periode
sebelum kemerdekaan (1908-1945), periode setelah kemerdekaan (1945-sekarang)
hingga menyelerasi -kan dengan masyarakat di Indonesia. Sedangkan dalam agama
Islam juga mengajarkan keadilan bagi semua manusia tanpa pandang bulu. Islam
juga mempunyai dalil-dalil atau landasan-landasan yang kuat tentang HAM
tersebut, sebagaimana yang yang telah saya paparkan di dalam isi makalah
ini.
Daftar Pustaka
Ubaedillah,
Rozak, dkk. 2000.Demokrasi, Hak Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani,
Jakarta: ICCE bekerja sama The Asia Foundation
No comments:
Post a Comment