Sistem pemerintahan Indonesia yang serba sempurna
mengakibatkan banyak para pejabat negara yang lupa akan tugas yang sebenarnya,
pemerintah sudah bagus dalam menerapkan aturan-aturan di negara ini, tapi dalam
pelaksanaan yang dijalankan jauh dari apa yang dicanangkan. Para masyarakat
merasa dipermainkan oleh para petinggi-petinggi negara, kepercayaan yang
diberikan oleh pejabat-pejabat yang duduk di bangku DPR sebagai wakil suara
dari masyarakat juga mencari karier yang diinginkan saja, dalam konteks kemasyarakatannya
kurang dari perhatian para pejabat-pejabat yang duduk di tingkat DPR.
Untuk
menjalankan prinsip-prinsip Good Governanace, Lembaga Administrasi Negara ( LAN
) dari berbagai hasil kajiannya telah menyimpulkan sembilan (9) aspek
fundamental dalam perwujudan Good Governance, yaiatu : 1. Partisipasi (
participation )
2.
Penegakan Hukum ( Rule of Law )
3.
Transparansi ( Transparency )
4.
Responsif ( Responsiveness )
5.
Orientasi Kesepakatan (Consensus Orientation )
6.
Keadilan ( Equity)
7.
Efektivitas ( Effectiveness ) dan Efesiensi ( Efficiency)
8.
Akuntabilitas (Accountability )
9.
Visi Strategis ( Strategic Vision )
v Partisipasi (
Participation )
Semua warga masyarakat berhak
terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga
perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh
tersbut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta
kapasitas untuk berpastisipasi secara konstruktif.
Paradigma birokrasi sebagai center for public service harus diikuti dengan deregulasi berbagai
aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakukan dengan efektif dan
efisien. Tidak cukup hanya dengan itu, aparatur pemerintah juga harus mengubah
paradigma dari penguasa birokrat menjadi pelayan masyarakat ( public server ),
dengan memberikan peleyanan yang baik, memeliki perhatian yang humanis terhadap
clientnya, memberikan pelayanan yang efesien, tepat waktu serta dengan biaya
murah, sehingga mereka memiliki legitimasi dari masyarakat. Inilah sebagai
persyaratan utama untuk mewujudkan cita Good Governance dalam konteks
memperbesar partisipasi masyarakat. Karena tidak mungkin sebuah bangsa akan
maju dengan cepat, tanpa partisipasi penuh warganya.
GOOD GOVERNANCE
v
Penegakan Hukum ( Rule Of Law )
Partisipasi masyarakat
dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik
memerlukan
sitem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi oleh sebuah hukum dan
penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses politik yang
anarkis. Ditambah juga dengan peleksanaan
sistem dan aturan pemerintahan yang kuat
serta memiliki kepasrtian.
Sehubungan dengan itu, Santosa (
2001: 87 ) menegaskan, bahwa proses mewujudkan cita Good Governance, harus
diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law, dengan karakter-karakter antara lain
sebagai berikut:
a.
Supremasi
hukum ( the supremacy of law );
b.
Kepastian
hukum ( legal certainly );
c.
Hukum
yang responsif;
d.
Penegakan
hukum yang konsisten dan non-diskriminatis;
e.
Independensi
peradilan.
v Transparansi (
Transparency )
Salah satu yang menjadi
persoalan bangsa di akhir masa orde baru adalah merebak nya kasus-kasus
korupsi
yang berkembang sejak awal rejim kekuasaannya. Korupsi tersebut dilakukan baik
secara individu maupun suatu lembaga yang secara langsung merugikan negara.
Karena selain merugikan negara, korupsi juga menghambat keefektifan dan
keefisiensi proses birokrasi dan pembangunan sebagai ciri utama Good
Governance. Oleh karena itu Michael Camdessus ( 1997 ), dalam satu
rekomendasinya pada PBB untuk membantu pemulihan ( recovery ) perekonomian
Indonesia menyarankan perlunya tindakan pemberantasan korupsi dan
penyeleggaraan pemerintahan yang transparan.
Pihak IMF memang sangat serius dalam
mempertahankan kebijakan pemberantasan korupsi untuk membantu proses recovery
ekonomi, karena walaupun sudah menjadi fenomena universal, tapi di Indonesia
korupsi sudah menimbulkan efek metastarik, yakni penyebaran ke seluruh elemen
birokrasi pemerintahan, dari puncak pimpinan sampai pada pegawai yang paling
rendah sekalipun.
Gaffar menyimpulkan ada 8 aspek
mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara trasparan yaitu:
1.
Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan
2.
Kekeyaan pejabat publik
3.
Pemberian penghargaaan
4.
Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
5.
Kesehatan
6.Moralitas
para pejabat dan aparatur pelayanan publik
GOOD GOVERNANCE
7. Keamanan dan Ketertiban
8.
Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat
v
Responsif
( Responsiveness )
Salah satu asas
fundamental menuju cita Good Governance adalah responsif, yakni pemerintahan
Harus peka dan cepat tanggap
terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintahan
harus memahami kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan
keinginan-keinginannya itu, tapi mereka secara proaktif mempelajari dan
menganalisis kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai
kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum tersebut.
Terkait dengan asas responsif ini, pemerintah harus
terus merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok
sosial dalam karakteristik kulturalnya. Pemerntah harus melakukan upaya-upaya
strategis dalam memberikan perlakuan yang
humanis pada kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.
v
Konsensus
(Consensus Orientation )
Asas fundamental lain
yang juga harus diperhatikan pemerintah dalam melaksanakan tugas
pemerintahan
menuju cita Good Governance adalah pengambilan keputusan secara konsensus,
yakni pengambila keputusan tersebut melalui musyawarah dan semaksimal mungkin
berdasar kesepakatan bersama, dengan cara demikian selain dapat memuaskan
antara pihak atau sebagian besar pihak juga dapat menerik komitmen komponen
masyarakat sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive power
(
kekuatan memaksa ) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
v Kesetaraan dan Keadilan (
Equty )
Terkait
dengan asas konsensus, transparansi dan respponsisif, Good Governance juga
harus
didukung
dengan asas equity, yakni kesamaan dalam perlakuan ( treatment ) dan pelayanan.
Asas ini dikembangkan berdasarkan pada sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia
ini tergolang bangsa yang prural, baik dari segi etnik, agama dan budaya.
Pemerintah harus memberikan peluang, pelayanan, kesempatan dan treatment yang
sama dalam koridor kejujuran dan keadilan. Tidak ada seorang kelompok yang
merasa teraniaya ataupun tidak mendapatkan apa yang menjadi haknya.
v
Efektivitas
( Effectiveness ) dan Efesiensi ( Efficiency )
Di samping harus
memperhatikan beragam kepentingan dari berbagai lapisan dan kelompok sosial,
GOOD
GOVERNANCE
pemerintahan
yang baik juga harus memenuhi kriteria
efektivitas dan efisiensi, yakni berdayaguna dan berhasilguna. Kriteria
aktivitas biasanya diukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari
berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan efisiensi biasanya diukur
dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua
masyarakat. Agar pemerintahan itu efektif dan efesien , maka para pejabat
perancang dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun
perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata dari masyarakat,
secara rasional dan turukur. Kemudian untuk memperoleh prtisipasi yang besar,
para aparatur serta pejabat pemerintahan juga harus terbuka,dan memberikan
kesempatan dan pelayanan kepada mereka dengan baik dan mudah. Selain itu
pemerintah juga harus mampu menekan ancaman-ancaman eksternal yang dapat
mengganggu stabilitas politik dan keamanan, karena tanpa rasa aman yang tinggi,
partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan sangat sulit diharapkan secara
optimal.
Dengan demikian, peningkatan
efektifitas pemerintahan harus dilakukan secara komprehensif, tidak sekedar
rekayasa internal untuk meningkatkan kinerja pemerintahannya sendiri, tapi juga
harus diimbangi dengan pembinaan dan pertumbuhan sikap-sikap masyarakat
demokratis yang beradab dan anti kekerasan.
v
Akuntabilitas
( Accountability )
Asas akuntabilitas menjadi
perhatian dan sorotan pada era reformasi ini, karena kelemahan
pemerintahan
Indonesia justru dalam kualitas akuntabilitasnya itu. Asas akuntabilitas
berarti pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya
delegasi dan kewenagan untuk mengurusi berbagai urusan dan kepentingan mereka.
Pengembangan asas akuntabilitas dalam kerangka good governance tiada lain agar
para pejabat atau unsur-unsur yang diberi kewenagan mengelola urusan publik itu
senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan penyimpangan untuk
melakukan KKN.
Secara politik, akuntabilitas
menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal yang menyangkut hubungan
antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya.
Akuntabilitas vertikal juga bermakna bahwa setiap pejabat harus mempertanggung
jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang
lebih tinggi. Sementara akuntabilitas horisontal pertanggung jawaban
pemegang jabatan publik pada lembaga
yang setara, seperti Gubernur dengan DPRD tingkat I, Bupati dengan DPRD tingkat
II, dan presiden dengan DPR pusat, yang pelaksaannya bisa dilakukan oleh para
mentri sebagai pembantu presiden.
v
Visi
Strategis ( Strategic Vision )
Visi strategis adalah pandangan-pandangan
strategis untuk menghadapi masa yang akan datang.
Bangsa-bangsa yang tidak memiliki
sensitifitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan, tidak saja
akan tertinggal oleh bangsa lain di dunia, tapi juga akan terperosok pada akumulasi
kesulitan, sehingga proses recoverynya tidak mudah. Salah satu contoh,
kecerobosan bangsa Indonesia dalam menerapkan
GOOD
GOVERNANCE
kebijakan devisa bebas di era
1980-an, dan memberi peluang pada sektor swasta untuk melakukan direct loan (
pinjaman langsung ) terhadap berbagai lembaga keuangan di luar negeri, dengan
tanpa memperhitungkan jadwal pembayaran yang rasional, telah mengakibatkan
nilai tukar dolar meningkat dan kurs rupiah anjlok. Dengan demikian, kebijakan
apa pun yang akan diambil saat ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh
atau dua puluh tahun ke depan.