BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai mana kita ketahui bahwa di Negara kita masih
terdapat disana sini ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat
dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini
menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil
terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk Hidup. Seandainya di negara
kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin tidak tidak akan terjadi
perotes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang bekepanjangan, peranpokan,
kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan
yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan keadilan hanya milik
orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas penulis akan mencoba untuk
memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat
meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakang
diatas maka, kita dapat rumuskan masalah konsep keadilan :
1.
Apakah keadilan itu ?
2.
Macam – macam keadilan ?
3.
Apakah Faktor-faktor yang
melatarbelakangi suatu keadilan?
C.
Tujuan Penulisan
Agar kita
sesama manusia bisa berlaku adil dan selalu mengutamakan kejujuran, karena
dengan kejujuran itu keadilan mudah untuk di capai. Dan agar kita bisa memperlakukan hak dan
kewajiban secara seimbang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.PengertianKeadilan
Kata ‘adl
adalah bentuk mashdardari kata
kerja(عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً), yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau
‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan
benar’.
Al-Baidhawi bahwa kata ‘adlbermakna
‘berada di pertengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini dikemukakan
pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkandi sini dikenal oleh
pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara)
berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini,
Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan
yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia memunyai hak yang
sama oleh karena mereka sama-sama manusia.
Dalam
bukunya M. Munandar sulaiman, menyatakan pengertian keadilan menurut beberapa
teori antara lain :
·Menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan
manusia. Kelayakan diartiaka sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem
yang terlalu banyak dan terlalu sedikit.
·Menurut Plato merupakan proyeksi pada diri manusia
sehingga orang yang dikatakan adil adalah orang yang mengendalika diri dan
perasaanya dikendalikan oleh akal
·Menurut Socrates merupakan proyeksi pada pemerintah
karena pemerintah adalah pimpinan pokok yang menetukan dinamika masyarakat
keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Dengan begitu, keadilan adalah
hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi
dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
Adapunciri-cirikeadilanantara
lain:
1. Tidak memihak
2. Sama hak
3. Sah menurut hukum
4. Layak dan wajar
5. Benar secara moral.
b.Macam-macam
Keadilan
1. Keadilan Legal atau keadilan Moral
Plato
berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari
masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat yang
adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling
cocok baginya (Than man behind the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilan
moral, sedangkan Sunoto menyebutnya keadilan legal. Keadilan timbul karena
penyatuan dan penyesuaian untuk memberi tempat yang selaras kepada
bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam
masyarakat bilamana setiap anggota masyarakat melakukan fungsinya secara baik
menurut kemampuannya. Fungsi penguasa ialah membagi-bagikan fungsi-fungsi dalam
negara kepada masing-masing orang sesuai dengan keserasian itu. Setiap orang
tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak cocok baginya. Ketidak adilan
terjadi apabila ada campur tangan terhadap pihak lain yang melaksanakan
tugas-tugas yang selaras sebab hal itu akan menciptakan pertentangan dan
ketidak serasian. Misalnya seorang pengurus kesehatan mencampuri urusan
pendidikan, maka akan terjadi kekacauan.
2.
Keadilan Distributif
Aristoles
berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice
is done when equals are treated equally). Sebagai contoh : Ali bekerja 10 tahun
dan budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara
Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. Andaikata Ali
menerima Rp.100.000,-maka Budi harus menerima Rp. 50.000,-. Akan tetapi bila
besar hadiah Ali dan Budi sama, justru hal tersebut tidak adil.
3.
Keadilan Komulatif
Keadilan
ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi
Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban
dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak
adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh :
Dr.Sukartono dipanggil seorang
pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya dengan
baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan mereka
berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis saling mencintai.
Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja, ada
keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah berkeluarga,
hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah
tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan
Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono. menghancurkan rumah tangga. Karena
dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak
rumah tangga dr. Sukartono.
D.
Faktor-Faktor Lain yang Melatarbelakangi suatu Keadilan
1. Kejujuran
Kejujuran
atau jujur artinya apa yang dikatakan seseorang sesuai dengan hati nuraninya,
apa yang dikatakannya sesuai dengan kenyataan yang ada. Sedang kenyataan yang
ada itu adalah kenyataan yang benar-benar ada. Jujur juga berarti seseorang
bersih hatinya dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama dan hukum.
Untuk itu dituntut satu kata dan perbuatan-perbuatan yang berarti bahwa apa
yang dikatakan harus sama dengan perbuatannya. Karena itu jujur juga menepati
janji atau kesanggupan yang terlampir melalui kata-kata ataupun yang masih
terkandung dalam nuraninya yang berupa kehendak, harapan dan niat.
Seseorang yang tidak menepati
niatnya berarti mendustai diri sendiri. Apabila niat telah terlahirdalam
kata-kata, padahal tidak ditepati, maka kebohongan disaksikan orang lain. Sikap
jujur perlu dipelajari oleh setiap orang, sebab kejujuran mewujudkan keadilan,
sedang keadilan menuntut kemulian abadi, jujur memberikan keberanian dan
ketentraman hati, agama dengan sempurna, apabila lidahnya tidak suci. Teguhlah
pada kebenaran, sekalipun kejujuran dapat merugikan, serta jangan pula
pendusta, walaupun dustamu dapat menguntungkan.
Barang
siapa berkata jujur serta bertindak sesuai dengan kenyataan, artinya orang itu
berbuat benar.Orang bodoh yang jujur adalah lebih baik daripada oarang pandai
yang lacung. Barang siapa tidak dapat dipercaya tutur katanya, atau tidak
menepati janji dan kesanggupannya, maka termasuk golongan orang munafik
sehingga tidak menerima bel;as kasihan Tuhan.
Pada hakekatnya jujur atau
kejujuran dilandasi oleh kesadaran moral yang tinggi, kesadaran pengakuan akan
adanya sama hak dan kewajiban, serta rasa takut terhadap kesalahan atau dosa.
Adapun kesadaran moral adalah kesadaran tentang diri kita sendiri karena kita melihat
diri kita sendiri berhadapan dengan hal baik buruk. Disitu manusia dihadapkan
kepada pilihan antara halal dan yang haram, yang boleh dan yang tidak boleh
dilakukan, meskipun dapat dilakukan. Dalam hal ini kita melihat sesuatu yang
spesifik atau khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada soal tentang jujur
dan tidak jujur, patut dan tidak patut, adil dan tidak adil.
Kejujuran
bersangkut erat dengan masalah nurani. Menurut M. Alamsyah dalam bukunya Budi
nurani, filsafat berfikir, yang disebut nurani adalah sebuah wadah yang ada
dalam perasaan manusia. Wadah ini menyimpan suatu getaran kejujuran, ketulusan
dalam meneropong kebenaran Moral maupun kebenaran Illahi. Nurani yang
diperkembangkan dapat menjadi budi nurani yang merupakan wadah yang menyimpan
keyakinan. Jadi getaran kejujuran ataupun ketulusan dapat ditingkatkan menjadi
suatu keyakinan, dan atas diri keyakinan maka seseorang diketahui pribadinya.
Orang yang memiliki ketulusan tinggi akan memiliki kepribadian yang burukdan
rendah dan sering yakin pada dirinya . karena apa yang ada dalam nuraninya
banyak dipengaruhi oleh pikirannya yang kadang-kadang justru bertentangan.
Bertolak
ukur hati nurani seseorang dapat ditebak perasaan moril dan susilanya, yaitu
perasaan yang dihayati bila ia harus menentukan pilihan apakah hal itu baik
atau buruk, benar atau salah. Hati nurani bertindak sesuai dengan norma-norma
kebenaran akan menjadikan manusianya memiliki kejujuran, ia akan menjadi
manusia jujur. Sebaliknya orang yang secara terus menerus berpikir atau
bertindak bertentangan dengan hati nuraninya akan selalu mengalami konflik
batin, ia akan terus mengalami ketegangan dan sifat kepribadiannya yang
semestinya tunggal jadi terpecah. Keadaan demikian sangat mempengaruhi pada
jasmanimaupun rokhaninya yang menimbulkan penyakit psikoneorosa. Perasaan etis
atau susila ini antara lain wujudnya sebagai kesadaran akan kewajiban, rasa
keadilan ataupun ketidak adilan. Nilai-nilai etis ini dikaitkan dengan hubunhan
manusia dengan manusia lainnya.
Selain
nilai etis yang ditujukan kepada sesama manusia, hati nurani berkaitan erat
juga dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Manusia yang memiliki budi nurani
yang amat peka dalam hubungannya dengan Tuhan adalah manusia agama yang selalu
ingat kepadaNya, sebagai sang Pencipta, selalu mematuhi apa yang diperintahnya,
berusaha untuk tidak melanggar larangan Nya, selalu mensyukuri apa yang
diberikan Nya, selalu merasa dirinya berdosa bila tidak menurut apa yang
digariskan Nya, akan selalu gelisah tidur bila belum menjalankan ibadah untuk
Nya. Berbagai hal yang menyebabkan orang berbuat tidak jujur, mungkin
karena tidak rela, mungkin karena pengaruh lingkungan, karena sosial ekonomi,
terpaksa ingin populer, karena sopan santun dan untuk mendidik. Dalam kehidupan
sehari-hari jujur atau tidak jujur merupakan bagian hidup yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri.
2.
Kecurangan
Kecurangan
atau curang identik dengan ketidak jujuran atau tidak jujur, dan sama pula
dengan licik, meskipun tidak serupa benar. Sudah tentu kecurangan sebagai lawan
jujur. Curang atau kecurangan artinya apa yang diinginkan tidak sesuai dengan
hati nuraninya. Atau orang itu memang dari hatinya sudah berniat curang dengan
maksud memperoleh keuntungan tanpa bertenaga dan usaha.
Kecurangan menyebabkan manusia
menjadi serakah, tamak, ingin menimbun kekayaan yang berlebihan dengan tujuan
agar dianggap sebagai orang yang paling hebat, paling kaya dan senang bila
masyarakat sekelilingnya hidup menderita.
Bermacam-macam sebab orang melakukan kecurangan, ditinjau
dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya ada empat aspek yaitu:
aspek ekonomi,
aspek kebudayaan;
aspek peradaban;
aspek tenik.
Apabila
ke empat aspek tersebut dilaksanakan secara wajar, maka segalanya akan berjalan
sesuai dengan norma-norma moral atau norma hukum, akan tetapi apabila manusia
dalam hatinya telah digerogoti jiwa tamak, iri, dengki,maka manusia akan
melakukan perbuatan yang melanggar norma tersebut dan jadilah kecurangan.
Tentang baik dan buruk Pujowiyatno dalam bukunya “filsafat sana-sini”
menjelaskan bahwa perbuatan yang sejenis dengan perbuatan curang, misalnya
berbohong, menipu, merampas, memalsu dan lain-lain adalah sifat buruk. Lawan
buruk sudah tentu baik. Baik buruk itu berhubungan dengan kelakuan manusia.
Pada diri manusia seakan –akan ada perlawanan antara baik dan buruk. Baik
merupakan tingkah laku, karena itu diperlukan ukuran untuk menilainya, namun
sukarlah untuk mengajukan ukuran penilaian mengenai hal yang penting ini. Dalam
hidup kita mempunyai semacam kesadaran dan tahulah kita bahwa ada baik dan
lawannya pada tingkah laku tertentu juga agak mudah menunjuk mana yang baik,
kalau tidak baik tentu buruk.
3.
Pemulihan Nama Baik
Nama baik
merupakan tujuan utama orang hidup. Nama baik adalah nama yang tidak tercela.
Setiap orang menjaga dengan hati-hati agar namanya tetap baik. Lebih-lebih jika
ia menjadi teladan bagi orang/tetangga adalah suatu kebanggaan batin yang tak
ternilai harganya. Penjagaan nama baik erat hubungannya dengan tingkah laku atau
perbuatan. Atau boleh dikatakan nama baik atau tidak baik itu adalah tingkah
laku atau perbuatannya. Yang dimaksud dengan tingkah laku dan perbuatan itu
antara lain cara berbahasa, cara bergaul, sopan santun, disiplin pribadi, cara
menghadapi orang, perbuatan – perbuatan yang dihalalkan agama dan sebagainya.
Tingkah laku atau perbuatan
yang baik dengan nama baik itu pada hakekatnya sesuai dengan kodrat manusia
yaitu ;
·manusia menurut sifatnya adalah mahluk bermoral,
·ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus
dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai pelaku moral
tersebut.
Pada
hakekatnya pemulihan nama baik adalah kesadaran manusia akan segala
kesalahannya, bahwa apa yang diperbuatnya tidak sesuai dengan ukuran moral atau
tidak sesuai dengan akhlak. Akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq bentuk jamak
dari khuluq dan dari akar kata ahlaq yang berarti penciptaan. Oleh karena itu
tingkah laku dan perbuatan manusia harus disesuaikan dengan penciptanya sebagai
manusia. Untuk itu orang harus bertingkah laku dan berbuat sesuai dengan ahlak
yang baik.
Ada tiga macam godaan yaitu ;
derajad / pangkat,
harta;
wanita.
Bila
orang tidak dapat menguasai hawa nafsunya, maka ia akan terjerumus kejurang
kenistaan karena untuk memiliki derajat/pangkat, harta dan wanita itu dengan
mempergunakan jalan yang tidak wajar. Jalan itu antara lain, fitnah,
membohongi, suap, mencuri, merampok, dan menempuh semua jalan yang diharamkan.
4.
Pembalasan
Pengertian
pembalasan adalah reaksi atas perbuatan orang lain yang dilakukan kepada kita
yang kita ungkapkan baik secara positif maupun negatif. Pembalasan merupakan
suatu reaksi atau perbuatan orang lain. Reaksi itu berupa perbuatan yang
serupa, perbuatan yang seimbang, tingkah laku yang serupa, tingkah laku yang
seimbang. Sebagai contoh ; A memberikan makanan kepada B, dilain kesempatan b
memberikan minuman kepada A. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan serupa, dan
ini merupakan pembalasan.
Dalam Al-Qur`an terdapat
ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mengadakan pembalasan bagi yang bertaqwa
kepada Tuhan diberikan pembalasan dan bagi yang mengingkari perintah Tuhanpun
diberikan pembalasan, dan pembalasan yang diberikanpun pembalasan yang
seimbang, yaitu siksaan di neraka.
Pembalasan disebabkan oleh
adanya pergaulan , pergaulan yang bersabahat mendapat balasan yang bersahabat,
sebaliknya, pergaulan yang penuh kecurigaan menimbulkan balasan yang tidak
bersahabat pula.
Pada
dasarnya manusia adalah mahluk moral dan mahluk sosial. Dalam bergaul manusia
harus mematuhi norma-norma untuk mewujudkan moral itu. Bila manusia berbuat
amoral, lingkunganlah yang menyebabkannya. Perbuatan amoral pada hakekatnya
adalah perbuatan yang melanggar atau memperkosa hak dan kewajiban manusia lain
.
D.Kesewenang-wenangan
Implementasi konsep desentralisasi dengan berbagai penyebutannya yang dirasakan
masih menyisakan persoalan, adalah kuatnya kecenderungan reinventing local yang
dalam penampakannya menjelma menjadi primordialisme sempit. Fenomena itu menjadi
semakin kelihatan belakangan ini terutama pada beberapa daerah yang,
”kedekatan” antara adat/atau tradisi lokal dengan agama sangat kuat. Agama
menjadi tergantung pada adat atau tradisi setempat, sebaliknya–adat atau
tradisi setempat mendapatkan “muatan” agama, sehingga dalam beberapa kasus
keduanya “menyatu”, sikap adat atau tradisi menjadi sama dengan sikap agama,
dan sebaliknya sikap keagamaan menjadi sama dengan sikap adat atau tradisi
setempat. Hal ini terjadi biasanya pada daerah-daerah dimana budaya setempat
menyatu dengan agama yang dominan di daerah tersebut.
Tentang
hubungan antara budaya lokal dan agama yang tidak jelas garis pembatasnya itu
dapat dilihat dalam konteks masyarakat seperti, daerah Nanggro Aceh Darussalam,
Sumatera Barat, dan dalam bentuk jargon-jargon adat juga dapat dijumpai
di beberapa kabupaten/kota di Provinsi Riau, dan lain-lain. Jika banyak
sosiolog dan juga pengamat politik melihat fenomena bangkitnya sentimen agama
itu lebih sebagai politisasi agama, atau sebagai bentuk populisme Islam baru.
Namun bila dilihat dari produk-produk legislasi yang dihasilkan dan
implementasinya di tingkat local, dalam banyak kasus akan menghadapkan
nasib konstitusi kita dalam kepungan syari’ahisme yang diimplementasikan secara
sewenang-wenang.
Kesewenang-wenangan
tersebut antara lain pertama dilihat dari tingkat kekejaman hukuman atas
implementasi regulasi syari’ah yang diasumsikan kedua tingkat
diskriminasi yang ditimbulkan dari konsep syari’ah yang diaplikasikan. Dari dua
bentuk kesewenangan tersebut, konsep syari’ah yang diasumsikan akan menjadi
rahmat bagi sekalian alam, yang muncul justru menampakkan wajah keseraman dan
kegarangan syari’ah. Alih-alih akan memberikan perlindungan perempuan dari
tindak kejahatan, yang terjadi justru praktek-praktek pelanggaran HAM yang
sulit ditolelir seperti yang terjadi dalam banyak kasus di daerah-daerah antara
lain di Aceh dan di Sumatera Barat.
Pertama,
jika dilihat dari tingkat kekejaman hukuman atau sanksi yang diberikan terhadap
orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran qanun atau dengan istilah
lainnya. Terlihat sekali bahwa para penyusun dan pendukung produk-produk
legislasi bernuansa syari’ah tersebut dihadapkan dengan kedangkalan intelektual
atau minimalnya sebagai bentuk ketidakjujuran intelektual. Logika yang dibangun
tidak lebih karena syari’ah sebagai hukum keagamaan, sekali al-Qur’an dan sunah
berbicara ketentuan hukum, maka orang yang mengaku beriman tidak ada pilihan
lain kecuali patuh (sami’na wa ata’na), tanpa adanya pemahaman
komprehensif tentang konteks dan dinamika yang terus berkembang.
Penggagas dan
penggerak dari syariah teknis partikular ini, tidak lagi melihat secara cermat
bahwa ternyata ada persoalan yang mengitari prosedur yurisprudensi syari’ah itu
atau adanya problem konsep syari’ah dan jinayat itu sendiri. Beberapa contoh
dapat dilihat misalnya regulasi terkait dengan pencegahan dan penanggulangan
penyakit masyarakat yang di beberapa daerah disebut sebagai perda pekat yang
melingkupi minuman keras, judi dan dugaan perbuatan maksiat untuk kasus di
Sumatera Barat. Sedang untuk kasus Qanun di Aceh terkait dengan ‘perbuatan
bersunyi-sunyian’ (khalwat) untuk melarang kegiatan duduk sambil
berbicara di tempat ‘sunyi’ dengan lawan jenis yang tidak menikah atau sedarah,
tidak peduli apakah ada bukti keintiman atau tidak.
Sebagaimana
sudah umum dipahami, menurut pendukung regulasi syari’ah sendiri mengakui bahwa
yang dimaksud dengan hudud adalah terkait dengan pelanggaran-pelanggaran yang
hukumannya ditetapkan secara tegas oleh al-Qur’an maupun sunnah, sehingga
menurut paham ini jenis hudud ada enam: syariqah (pencurian), harabah
(pemberontakan atau perampokan besar di jalan), zina (secara umum dipahami
sebagai hubungan seks diluar nikah ), qadzf (menuduh berzina), sukr
(mabuk) dan riddah (keluar dari Islam). Sebagian risalah fiqh,
menyebutkan ada hadd ketujuh yakni had al baghy, namun karena
hadd yang terakhir ini tidak ada ketentuannya yang jelas maka dianggap
meragukan sehingga menimbulkan perbedaan pendapat sejak dari generasi perintis
yurisprudensi syari’ah sendiri.
Jika ditelisik
lebih jauh, dari keenam jenis hadd (bentuk jamak hudud),
sesungguhnya yang ada dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun sunnah secara
jelas hanyalah pada empat pelanggaran yakni sariqah, harabah, zina
dan kazdf, sedangkan terkait dengan sukr (mabuk) dan riddah
(kelura dari Islam), baik al-Qur’an maupun sunnah tidak menjelaskan hukuman
khususnya. Kasus minum alkohol misalnya, Nabi tidak menentukan hukuman,
sehingga terkadang dalam banyak kasus terjadi kesewenangan hukuman atau sanksi
bagi peminum alcohol.
Mengingat
terbatasnya ruang, maka tulisan ini akan lebih difokuskan pada perda dan qanun
utamanya terkait dengan perbutan berdua-duaan dengan lawan jenis (khalwat).
Sekalipun dalam al-Qur’an yang sering dikutip oleh para pengusung isu syariah
sebagai dasar hukum “ Janganlah kamu dekati zina, sesungguhnya perbuatan itu
seburuk-buruk jalan”. Katakanlah jika berdua-duaan (khalwat), dianggap
sebagai mendekati zina, Namun baik al-Qur’an maupun sunah tidak menjelaskan
tentang hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan itu. Sanksi hukuman baru
dapat dijatuhkan ketika dua orang tersebut telah terbukti secara sah melakukan
perbuatan zina yang telah diakses oleh empat orang saksi laki-laki dengan
ketentuan yang sangat cermat.
Selain itu
ketidak sederhanaan penetapan hudud bagi pelaku zina juga al-Qur’an hanya
menyebutkan seratus cambukan, sedangkan terkait dengan hukuman pelemparan batu
hingga mati bagi seseorang yang masih terikat perkawinan hanya diatur dalam
sunnah dan penjatuhan sanksinyapun tidak boleh secara sembrono. Terkait dengan
penjatuhan hukuman bagi orang yang dianggap melanggar syari’ah, masih menyisakan
persoalan-persoalan, misalnya siapa yang harus menjatuhkan hukuman. Jadi
prosedur mengintip dan menswiping serta menggedor ruang privat atas dugaan
perzinahan saja jelas-jelas tidak ada ketentuan baik berdasarkan al-Qur’an
maupun sunah, apalagi dalam kasus dugaan berkhalwat.
Kemudian
terkait siapa yang berwenang menjatuhkan sanksi hudud?, dalam ketentuan
syari’ah, yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi adalah khalifah
atau amir (pemimpin), dan dengan sikap dan sifat amanah yang dimilikinya,
seorang khalifah/amir dapat menunjuk hakim. Persoalannya adalah apakah para
penggagas dan penggerak perda-perda atau qanun di atas sudah memenuhi criteria
amanah sebagaimana yang menjadi concern Islam itu sendiri? Ini merupakan
persoalan yang masih tersisa dalam yurisprudensi Islam. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa proses pemilihan kepala daerah yang kemudian dianggap sebagai amir
dalam system syari’ah, sulit jika disebut mengikuti prinsip-prinsip amanah.
Jika demikian penegak hukumnya diduga atau diragui keimanan dan sikap
amanahnya, maka seharusnya sanksi hukum bisa batal demi hukum.
Kedua,
dilihat dari sisi diskriminasi atas implementasi atau penerapan hukum. Bahwa
sehomogen apapun suatu daerah, ia bukanlah realitas yang monolitik. Fenomena
perkembangan politik dan ekonomi yang kian mengglobal seperti saat ini, adalah
mustahil jika dalam satu daerah benar-benar dihuni oleh satu umat atau satu
komunitas yang seragam. Maka dari realitas keberagaman ini, maka sudah
dipastikan bahwa regulasi syariah tersebut sangat berpotensi menimbulkan
praktek-praktek yang diskriminatif. Antara lain; sebagaimana sudah sama-sama
dipahami, bahwa hukum Islam sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an sendiri
tidak bisa diberlakukan bagi non muslim. Satu preseden Nabi Muhammad melakukan
hukuman mati kepada pelaku zina,menurut Abdul Qadir Auda (1960) disebabkan
pelakunya adalah orang Yahudi yang meminta dihukum. Jadi pemberlakuan hukuman
mati itu bukan berdasarkan hukum Islam, melainkan berdasarkan hukum Yahudi
Persoalannya
yang segera muncul adalah; jika pada satu daerah karena alasan otonom daerah
lalu memberlakukan peraturan yang sesuai dengan kekhasan daerah kemudian
memberlakukan peraturan daerah berdasarkan bernuansa syari’ah, kemudian
dihadapkan dengan kasus dua pasang yang diduga berbuat zina atau minimal
berkhalwat, lalu keduanya ditangkap oleh pengawal perda seperti wilayah al
hisbah atau Pol PP dan lain-lain, maka segera akan menimbulkan persoalan
diskriminatif, pertama jika kemudian setelah diinterogasi yang sepasah
mengaku non Islam, maka yang sepasang harus dibebaskan karena tidak menjadi
obyek hukum Islam sementara yang satu karena sebagai muslim harus ditahan,
sebab jika diberlakukan hukuman yang sama jelas pengawal perda telah melanggar
ketentuan prosedur syari’ah itu sendiri. Kedua, jika yang kepada yang
non-muslim dibebaskan, maka akan menimbulkan kesan bagi pasangan yang muslim,
lebih enak menjadi non-muslim, karena tidak dikenai sanksi.
Selain
dua bentuk diskriminasi tersebut,bahwa bentuk-bentuk regulasi bernuansa
syariah, atau bahkan yang sudah penuh muatan syari’ahnya seperti qanun di Aceh,
telah menggiring umat pada penyeragaman pada keterikatan satu paham. Sekalipun
mungkin semua mazhab dalam Islam sepakat untuk memberlakukan hudud bagi
pelanggar syari’ah, namun dalam persoalan prosedur pemberlakuan hudud terdapat
perbedaan yang jika dipaksakan akan berimplikasi pada pemaksaan kehendak atau
bahkan penindasan atas pemehaman dan keterikatan mazhab tertentu.
Mengakhiri tulisan ini, bahwa sikap yang paling adil, bahwa komitmen terhadap
Islam tidaklah harus diperlihatkan dalam bentuk menonjolkan aspek formalitas
ritual dalam syari’ah, namun bagaimana daerah-daerah yang merasa memiliki
keterkaitan erat dengan Islam lebih mengapresiasi dalam penerapan syari’ah pada
esensi moral dan spiritual, terutama terkait dengan hukum-hukum public
syari’ah. Sebab jika dipaksakan pelaksanaan hukum syari’ah public akan contra
productive dan merugikan umat Islam itu sendiri.
Di beberapa
Daerah, berpuluh puluh orang personil yang selama ini duduk dalam jabatan
struktural diberhentikan tanpa sebab, tak pernah dipanggil, tak pernah ditegur
kemudian diberhentikan tanpa memegang jabatan lagi, jawaban yang paling klasik
dari orang yang memberhentikan adalah hak prerogatif bupati, ibarat orang “
kentut “, yang terkentut dapat bersembunyi dibalik kalimat prerogatif, tetapi
bagi yang merasakan dan keluarga serta orang kampung dan sanak famili dari
orang yang dianiaya sebabnya tiada lain,karena dulu tak memihak kepada bupati
yang saat ini berkuasa.
Yang diangkat
juga tak lebih mencengangkan, aturan kepegawaian dan segala petunjuk
pelaksanaannya juga tak diperlukan, yang diperlukan adalah dulu apakah tercatat
sebagai pembangkang pada saat Pilkada dilaksanakan, tak penting apakah mantan
Napi atau orang yang tak bermoral atau yang sedang dalam proses
pemberhentian, kalau syarat pembangkang terpenuhi maka akan dapat
diangkat dalam jabatan tertentu. Kalau ada yang bertanya maka jawabannya adalah
hak prerogatif.
Pelaksanaan
kalimat prerogatif sudah harus didudukkan dalam porsi yang sepantasnya dan
dalam pemahaman yang benar pula, jika ini dibiarkan berjalan tanpa control dan
tidak ada yang meluruskan, jangan-jangan nanti pejabat yang tak ikut ajaran
yang sudah dinyatakan sesat dan menyesatkan oleh MUI Sumatera Barat akan
berhenti pula, jika dipersoalkan maka jawabannya adalah hak prerogatif.
Sudah saatnya
cara-cara yang tak punya hati nurani dalam bertindak dan berbuat diluruskan dan
dibenarkan menurut cara yang benar, secara jenjang Pemerintahan, ketika yang
tak pantas itu terjadi di Daerah, Pemerintah Propinsilah yang berwenang meluruskan,
dan ketika Pemerintah Propinsi melakukan kekeliruan tentu Pemerintah Pusat yang
berwenang, jika tak ada yang meluruskan, semua ini ibarat memelihara api, pada
saatnya api akan membakar apa saja yang ada, ketika masih kecil mukin resiko
terburuk terjadi karena yang rugi adalah masyarakat juga.
Macam-macam
Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:
·
Eksepsi mengenai kekuasaan relatif,
yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang mengadili perkara.
Diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara.
·
Eksepsi mengenai kekuasaan absolut,
yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang untuk mengadili perkara
tsb (psl 143 HIR), eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena
jabatannya (tanpa harus diminta oleh tergugat)
·
Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim
tidak berwenang (psl 133, 134) jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak
dapat diterima. Dalam hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada
pengadilan yang berwenang.
·
Eksepsi Dilatoir (menangguhkan,
menunda): contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan diajukan prematur, belum
saatnya. Kalau gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat
dapat menggugat kembali setelah tiba saatnya.
·
Eksepsi Peremptoir (menyudahi,
menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau oleh hakim gugatan tersebut ditolak,
maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi.
·
Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu
penggugat dianggap tidak mempunyai kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.
·
Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang
menyatakan bahwa perkara yang sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang
terdahulu diputus yaitu baik objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama
(nebis in idem).
BAB III
PENUTUP
A.Simpulan
Jadi, Manusia dan keadilan pada intinya terletak pada
keseimbangan atau keharmonisan antara menuntut hak, dan kewajiban manusia itu
sendiri. Menurut pendapat yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah
pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan
terletak pada keharmonisan menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Atau dengan
kata lain. keadilan adalah keadaan bila setiap orang memperoleh apa yang
menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan
bersama. Keadilan adalah kata kunci yang menentukan selamat tidaknya manusia di
muka bumi. Tanpa keadilan manusia pasti hancur. Menegakkan keadilan adalah
kewajiban setiap manusia.
B.Saran
Agar
setiap orang harus selalu menjujung tinggi keadilan serta menegakkannya dalam
kehidupan sehari-hari, karena itu tugas utama pokok manusia adalah menegakkan
keadilan. Adil terhadap diri, keluarga dan masyarakatnya.
No comments:
Post a Comment