BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Puasa
menurut syar’i dalam bahasa arab disebut dengan kata (shiyaam atau shoum). Sedangkan
defenisi puasa secara bahasa menahan segala perbuatan dari mulai terbit fajar
hingga terbenam matahari.
. Dalam
al-Quran, ada ayat yang menunjukkan penggunaan definisi puasa secara bahasa.
Yaitu, perintah Allah kepada Maryam (ibunda Nabi Isa):
إِنِّي نَذَرْتُ
لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Sesungguhnya aku bernadzar puasa untuk ar-rahman
(Allah) sehingga aku tidak akan berbicara pada hari ini dengan manusia manapun
(Q.S Maryam : 26)
Dalam ayat
tersebut,Maryam bernadzar untuk puasa,namun dalam defenisi secara bahasa, yaitu
menahan diri untuk tidak berbicara.Sedangkan defenisi secara syar’i adalah : Beribadah Kepada Allah disertai
dengan niat dalam bentuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa
dari sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari (asy-syahrul mumti’ ala zaadil mustaqni’
(6/298).
Dalam surah
al-baqarah ayat 183 juga dijelaskan “Sebagaimana diwajibkan kepadaumat sebelum
kalian”.
كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Ayat diatas bahwasanya
menjelaskan tentang umat terdahulu sebelum umat pada zaman sekarang ini,artinya
kita sebagai umat muslim diwajibkan untuk berpuasa.Adapun tujuan kita berpuasa
untuk mencapai predikat taqwa, لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
Ayat ini
menunjukkan tujuan berpuasa adalah agar tercapai ketaqwaan.Ibadah puasa yang
dikerjakan dengan sebenarnya akan menghantarkan seseorang pada ketaqwaan.
Seadangkan ketaqwaan adalah penghantar sesseorang mendapatkan kesuksesan/keberhasilan
yang hakiki.
1.2 Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Puasa ....
2. Apa
yang dimaksud Wajib Puasa ....
3. Apa
sajakah Macam-macam Puasa. ...
4. Permasalahan
apakah yang berkaitan dengan Puasa ....
1.3 Tujuan
Masalah
1. Untuk mengetahui apa pengertian Puasa ....
2. Mengetahui apa saja yang dimaksud Wajb Puasa ....
3. Agar mengetahui Macam-macam Puasa ....
4. Mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan
Puasa ....
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Puasa
Puasa menurut syar’i dalam bahasa arab disebut dengan kata (shiyaam
atau shoum). Sedangkan defenisi puasa secara bahasa menahan segala perbuatan
dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat dan syarat
tertentu.
Allah menegaskan
tentang mewajibkan puasa dalam surah
Al-baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
Wahai
orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa
(Q.S.Al-baqarah 183).
Pada ayat ini akan dibahas tentang :
1.
Sikap tentang seruan :
“ wahai orang-orang yang beriman...”
2.
Defenisi Puasa
3.
Puasa telah diwajibkan
pada umat sebelum kita
4.
Tujuan untuk mencapai
ketaqwaan
Penjelasan
:
Sikap
terhadap seruan: ”wahai orang-orang yang beriman...”
Sahabat Nabi
Ibnu Mas’ud radiyallhu anhu berkata :
إِذَا سَمِعْتَ
اللَّهَ يَقُولُ: ” يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ” فَأَرْعِهَا سَمْعَكَ
فَإِنَّهُ خَيْرٌ يَأْمُرُهُ، أَوْ شَرٌّ يَنْهَى عَنْهُ
“Jika enkau
mendengar Allah berfirman :” Wahai orang-orang beriman” maka pasang
pendengaran baik-baik karna padanya pasti terdapat kebaikan baik yang
diperintahkan atau keburukan yang akan dilarang” (riwayat Ibnu Hatim dalam
tafsirnya dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’).
Setaip perintah dalam Al-qur’an
pasti mengandung kabaikan, kemaslahatan, keberuntungan, manfa’at, keindahan,
keberkahan. Sedangkan setiap larangan Al-qur’an pasti mengandung kerugian,
kebinasaan, kehancuran, keburukan (Tafsir Ibnu katsir(1/200)).
Puasa
dalam bahasa arab disebut (shiyam atau shoum). Sedangkan menurut bahasa adalah
menahan diri dari segala suatu perbuatan dari terbit fajar hingga terbenam
matahari. Dalam Al-quran, ada ayat yang menunjukkan pengunaan defenisi puasa
secara bahasa. Yaitu perintah Allah kepada Maryam (Ibunda Nabi Isa’) :
إِنِّي نَذَرْتُ
لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Sesungguhnya
aku bernadzar puasa untuk ar-rahman (Allah) sehinnga aku tidak akan berbicara
pada hari ini dengan manusia manapun (Q.S. Maryam : 26)
Dalam ayat
tersebut,Maryam bernadzar untuk puasa, namun dalam defenisi secara bahasa
“menahan diri untuk tidak berbicara” sedangkan defenisi puasa secara syar’i
adalah “Beribadah kepada Allah disertai dengan niat dalam bentuk menahan diri
dari segala hal yang membatalkan puasa dari sejak terbit fajar shaddiq hingga
terbenamnya matahari
Puasa juga termasuk amalan-amalan
ibadah yang memperkokoh pondasi agama, sebagaimana telah dijelaskan dalam
sebuah hadis :
بُنِي الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ اَنْ لاَ
إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ,
وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البُخَارى
ومسلم و احمد).
Di bina islam
itu kepada 5 pondasi:
1.
Bersaksi tiada tuhan
selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah,
2.
Mengerjakan shalat,
3.
Membayar zakat,
4.
Melakanakan haji (bagi
yang mampu),
5.
Dan berpuasa di bulan
ramadhan.
Dalam hadis lain juga dijelaskan :
وَعَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ:
كَلُّ عَمَلِ ابْنِ ادَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّه لِىْ وَاَنَا اَجْزِىْ
بِهِ, وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ, فَإِذَا كَانَ يَوْمَ صِوْمِ اَحَدِكُمْ
فَلاَيَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ, فَإِنَّ سَابَّهُ اَحَدٌ اَوْ قَاتَلَهُ
فَلْيَقُلْ: اِنِّيْ صَائِمٌ. وَ الَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ
فَمِ الصَّائِمِ اَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ, للِصَّائِمِ
فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا اَفْظَرَ فَرِحَ, وَ إِذَا لَقِيَ رَبَّهُ
فَرِحَ بِصَوْمِهِ. (متفق عليه, و هذا لفظ رواية البخارى)
Artinya :
“Allah telah
berfirman semua anak cucu Adam dapat dicampuri semua kepentingan hawa nafsunya
kecuali berpuasa, maka itu adalah untukku dan aku(Allah) yang akan membalasnya.
Dan berpuasa itu adalah perisai, maka jika seorang berpuasa janagnlah berbuat
keji atau ribut-ribut, dan kalau seseorang mencaci makinya, atau mengajak
berkelahi, maka hendaklah katakan padanya “aku sedang berpuasa”. Demi Allah
yang jiwaku ditangan-Nya, bau mulut orang yang sedang berpuasa bagi Allah lebih
harum dari baunya misik (kasturi). Dan untuk orang yang berpuasa dua kali masa
gembira, yaitu ketika akan berbuka, dan ketika ia akan menghadap Tuhan
benar-benar gembira, menerima pahala puasanya (HR. Bukhari dan Muslim).
2.2
Pengertian Wajib Puasa
Allah telah menegaskan dalam
Al-qur’an surah Al-Baqarah:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
Wahai
orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa
(Q.S.Al-baqarah 183).
Dari
ayat tersebut kita menemukan sepotong ayat:
عَلَيْكُمُ
كُتِبَ الصِّيَامُ
“ Telah
diwajibkan kepada kalian berpuasa “
Ayat ini
merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban puasa bagi orang-orang beriman umat
Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat selanjutnya akan dijelaskan tentang melaksanakn
puasa itu tidak untuk seluruh waktu, namun pada hari-hari tertentu saja,
seperti bulan ramadhan.
Dari ayat tersebut juga menujukkan
bukan hanya umat nabi Muhammad saja yang melaksanakan puasa, tetapi ada
umat-umat terdahulu yang melaksanakan puasa sebelum kita.
…
قَبْلِكُمْمِنْالَّذِينَعَلَىكُتِبَكَمَا …
Tidak didapati dalam hadist yang
shahih tentang bagaimana tata cara berpuasa umat terdahulu. Terdapat beberapa
hadist, namun lemah. Seperti hadist Daghfal bin Handzhalah diriwayatkan
at-thobrany dan lainnya yang menyebutkan bahwa awalnya kaum Nasrani berpuasa
Ramadhan, kemudian ada raja-raja mereka yang sakit dan bernadzar jika Allah
beri kesembuhan akan menambah jumlah hari puasanya. Demikian berlangsung hingga
kemudian jumllah hari puasa mereka menjadi 50 hari. Dan perintah puasa juga
syariat yang terakhir sebagai penyempurna syariat-syariat sebelumnya.
Tujuan utama ibadah puasa yang kita
kerjakan ialah untuk mencapai Ketaqwaan,
…لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
ayat ini menunjukkan tujuan
berpuasa adalah agar tercapai ketakwaan. Ibadah puasa yang dikerjakan dengan
sebenarnya akan menghantarkan seseorang pada ketakwaan. Sedangkan ketakwaan
adalah penghantar seseorang mendapatkan kesuksesan/ keberhasilan yang hakiki.
2.3 Macam-macam Puasa
Macam-macam Puasa :
1) Puasa Wajib
1) Puasa Wajib
A. Puasa Ramadhan
Puasa ramadhan
adalah puasa wajib yang dikerjakan bagi setiap muslim pada bulan Ramadhan
selama sebulan penuh.
B. Puasa Nadzar
Nadzar secara
bahasa berarti janji. Puasa nadzar adalah puasa yang disebabkan karena janji seseorang utuk mengerjakan puasa.
Misaalkan, Fulan apabila ia mendapatkan sepeda dari hasil tabungannya maka ia
akan berpuasa 3 hari berturut-turut, maka apabila ia benar-benar mendapatkan
sepeda tersebut maka ia wajib mengerjakan puasa selama 3 hari berturut-turut.
Berkaitan dengan
puasa nadzar Rasullullah pernah bersabda, yang artinya:
“Barang siapa yang bernadzar akan
mentaati perintah Allah, maka hendaklah ia kerjakan (H.R. Bukhari).
C.
Puasa Kafarat
Kafarat berasal
dari kata Kafara yang artinya menutupi sesuatu. Puasa kafarat secara istilah
adalah puasa untuk mengganti denda yang wajib ditunaikan disebabkan oleh suatu
perbutan dosa,yang bertujuan untuk menutupi dosa tersebut sehingga tidak ada
lagi pengaruh perbutan dosa yang diperbuat tersebut baik di dunia maupun di
akhirat.
2) Puasa Sunnah
A. Puasa enam hari pada bulan Syawal
Boleh
dilakukan secara berurut ataupun tidak. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya:
“Keutamaan puasa Ramadhan yang diiringi puasa Syawal ialah seperti orang
berpuasa selama setahun (H.R Muslim).
B. Puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
Yang
dimaksud adalah puasa di sembilan hari yang pertama dari bulan ini, tidak
termasuk hari yang ke-10. Karena hari ke-10 adalah hari raya kurban dan
diharamkan untuk berpuasa.
C. Puasa hari Arafah
Yaitu
puasa pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaannya, akan dihapuskan dosa-dosa
pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang (HR. Muslim). Yang
dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena
dosa besar hanya bisa dihapus dengan bertaubat.
D. Puasa Muharrom
D. Puasa Muharrom
Yaitu
puasa pada bulan Muharram terutama pada hari Assyuro’. Keutamaannya puasa ini,
sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Bukhari, yakni puasa di bulan ini
adalah puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon.
E. Puasa Assyuro’
Hari
Assyuro’ adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Nabi shalallahu ‘alaihi
wasssalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Assyuro’ ini dan
mengiringinya dengan puasa 1 hari sebelum atau sesudahnhya. Hal ini bertujuan
untuk menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani yang hanya berpuasa pada hari ke-10.
Keutamaan: akan dihapus dosa-dosa (kecil) di tahun sebelumnya (HR. Muslim).
F. Puasa Sya’ban
Yang
dimaksud puasa Sya’ban adalah memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Keutamaan:
Bulan ini adalah bulan di mana semua amal diangkat kepada Rabb semesta alam
(HR. An-Nasa’i & Abu Daud, hasan)
.
G. Puasa Senin dan Kamis
G. Puasa Senin dan Kamis
Nabi
telah menyuruh ummatnya untuk puasa pada hari Senin dan Kamis. Hari Senin
adalah hari kelahiran Nabi Muhammad sedangkan hari Kamis adalah hari di mana
ayat Al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan. Perihal hari Senin dan Kamis,
Rasulullah juga telah bersabda:
“Amal
perbuatan itu diperiksa pada setiap hari Senin dan Kamis, maka saya senang
diperiksa amal perbuatanku, sedangkan saya sedang berpuasa. (HR Tirmidzi)
H. Puasa Tengah Bulan (tiga hari setiap bulan Qamariyah)
Disunnahkan
untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13, 14,
dan 15 setiap bulan qamariyah.
I. Puasa Dawud
Cara
mengerjakan puasa nabi Dawud adalah dengan sehari puasa sehari tidak puasa,
atau selang-seling. Puasa nabi Dawud adalah puasa yang paling disukali oleh Allah
swt. (HR. Bukhari-Muslim).
3) Puasa Makruh
Kapan
puasa hukumnya makruh? Puasa yang makruh dilakukan adalah puasa pada hari Jumat
dan Sabtu yang tidak bermaksud mengqadha’ Ramadhan, membayar nadzar atau
kafarat, atau tidak diniatkan untuk puasa sunnah tertentu. Jadi seseorang yang
puasa pada hari Jumat atau Sabtu dengan niat mengqadha’ puasa Ramadhan tidak
termasuk puasa makruh. Misal tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu maka
puasa hari Sabtu pada waktu itu menjadi puasa sunnah bukan makruh. Ada pendapat
lain yang lebih keras bahkan menyatakan bahwa puasa pada hari Jumat tergolong
puasa haram jika dilakukan tanpa didahului hari sebelum atau sesudahya.
4) Puasa Haram
Ada
puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena waktunya atau
karena kondisi pelakukanya.
A. Hari Raya Idul Fitri
Tanggal
1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah
hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat
telah mengatur bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa
sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak
harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.
B. Hari Raya Idul Adha
Hal
yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat
Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk
menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat
serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap
hewan qurban itu dan merayakan hari besar.
C. Hari Tasyrik
C. Hari Tasyrik
Hari
tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat
Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih
diharamkan untuk berpuasa. Pada tiga hari itu masih dibolehkan utnuk
menyembelih hewan qurban sebagai ibadah yang disunnahkan sejak zaman nabi
Ibrahim as.
D. Puasa
sepanjang tahun / selamanya
Diharamkan
bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup untuk
mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar`i puasa seperti
itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW
menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan
sehari berbuka.
2.4 Permasalahan yang berkaitan dengan Puasa
A. Syarat Wajib
Puasa
Syarat wajibnya puasa yaitu: (1)
islam, (2) berakal, (3) sudah baligh, dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.
B.
Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Syarat wajib penunaian puasa,
artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa.
Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan
sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan
bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَعَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ
“Dan barangsiapa yang dalam
keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”
(QS. Al Baqarah: 185).
Kedua syarat ini termasuk dalam
syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat
wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada
orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat
itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika
mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) suci dari haidh dan nifas.
Dalilnya adalah dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha. Yang artinya:
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada
Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan
tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan
Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya
bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’
shalat’.”(HR. Muslim no. 335).Berdasarkan kesepakatan para ulama pula,
wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib
mengqodho’ puasanya.
C. Syarat sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:
(1) Dalam keadaan suci dari haidh
dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus
syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat
sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali
dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu
tergantung dari niatnya.” (H.R. Bukhari)
Berdasarkan kesepakatan para ulama,
rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit
fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الْأَسْوَدِ
مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا
الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah,
terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara
hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun
surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata
padanya,
ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ
مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِإِنَّمَا
“Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya
malam”(HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadis ini hasan
shahih).
E. Sahur dan
Berbuka
v Sahur
Defenisi
sahur adalah Sahur adalah makan pada akhir malam yang merupakan sunnah Nabi
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Ketika sahur hendaklah seseorang berniat
melaksanakan perintah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan meniru perbuatannya
sehingga sahurnya menjadi ibadah dan berniat pula agar sahur menjadikannya kuat
ketika berpuasa sehingga mendapat pahala karenanya. (Majelis Syahr
Ramadhan, Syaikh Utsaimin 77-78).
Adapun hikmah dari sahur, Dari Amr bin ‘Ash
radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Pembeda
antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR.
Muslim).
Keutamaan sahur ialah sebagai barokahDari
Abdullah bin Al Harits radhiallahu ‘anhu dari seorang sahabat Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Aku masuk menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam ketika beliau maka sahur, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya
makan sahur adalah barokah yang Allah berikan kepadamu maka janganlah kamu
tinggalkan.” (HR. An Nasa-i dan Ahmad. Sanadnya shahih)
Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Bersahurlah,
karena sesungguhnya ada barokah padanya.” (Muttafaq ‘alaih).
Keberadaan
sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti
mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menjadikan seseorang semangat untuk
selalu puasa karena merasa ringan, dan makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab
karena mereka tidak melakukannya.
v Berbuka
Waktu
berbuka puasa bagi orang yang puasa adalah ketika matahari telah terbenam. Hal
ini berdasarkan hadits dari Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam bersabda:
Artinya:
“Jika
malam datang dari sini, siang menghilang dari sini, dan telah terbenam
matahari, maka berbukalah orang yang puasa.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dalam
berbuka kita juga di sunnahkan unutuk menyegerakannya.Amr bin Maimun Al Audiy
berkata: “Para sahabat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah orang-orang
yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur.” (Riwayat
Abdur Razaq dan al Haitsami)
Dari
Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
bersabda:
“Manusia
terus berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
bersabda:
“Agama
ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena
orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya.” (HR. Abu
Dawud dan Ibnu Hibban. Sanadnya hasan).
banyak hikmah
dari puasa Ramadhan tersebut, orang yang memberi makan orang yang sedang
berpuasa, Rasulullah bersabda:
Artinya :
“Barangsiapa
memberi buka orang yang puasa, ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang
berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” (HR. Ahmad,
At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh At Tirmidzi).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dari uraian di atas dapat kami ambil
kesimpulan bahwa ibadah puasa tidak hanya dilakukan oleh umat-umat nabi
Muhammad, tetapi sebelum umat nabi Muhammad, umat-umat terdahulu telah melakukan
ibadah puasa tersebut, sehinnga kita sebagai orang mu’min tidak merasa hanya
kita yang terbebani oleh perintah ibadah puasa tersebut. Allah juga tidak
mempersulit bagi kaum muslimin yang dalam keadaan sakit ataupun yang berada
dalam perjalanan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-qur’an:184
أَيَّامًا
مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(pada) hari-hari yang tertentu. Barangsiapa yang sakit atau safar,
maka mengganti di hari lain. Bagi orang yang mampu, maka ia membayar fidyah
memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan (membayar kelebihan), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan
berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Adapun perbedaan puasa yang kita
lakukan dengan Ahlul Kitab ialah di saat kita sedang sahur dan berbuka, umat muslim
memperlambatsahur dan menyegerakan berbuka.
“Perbedaan
antara puasa kita dengan Ahlul Kitab adalah makan sahur”(Muttafakun a’laih)
“Manusia
terus berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”(H.R.Bukhari
Muslim).
No comments:
Post a Comment