Monday, December 22, 2014

MAKALAH FIQH IBADAH “ PUASA,WAJIB PUASA,MACAM PUASA,DAN PERMASALAHANNYA“

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Puasa menurut syar’i dalam bahasa arab disebut dengan kata (shiyaam atau shoum). Sedangkan defenisi puasa secara bahasa menahan segala perbuatan dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari.
.           Dalam al-Quran, ada ayat yang menunjukkan penggunaan definisi puasa secara bahasa. Yaitu, perintah Allah kepada Maryam (ibunda Nabi Isa):
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Sesungguhnya aku bernadzar puasa untuk ar-rahman (Allah) sehingga aku tidak akan berbicara pada hari ini dengan manusia manapun (Q.S Maryam : 26)
Dalam ayat tersebut,Maryam bernadzar untuk puasa,namun dalam defenisi secara bahasa, yaitu menahan diri untuk tidak berbicara.Sedangkan defenisi secara syar’i  adalah : Beribadah Kepada Allah disertai dengan niat dalam bentuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dari sejak terbit fajar shadiq hingga terbenamnya matahari  (asy-syahrul mumti’ ala zaadil mustaqni’ (6/298).
Dalam surah al-baqarah ayat 183 juga dijelaskan “Sebagaimana diwajibkan kepadaumat sebelum kalian”.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Ayat diatas bahwasanya menjelaskan tentang umat terdahulu sebelum umat pada zaman sekarang ini,artinya kita sebagai umat muslim diwajibkan untuk berpuasa.Adapun tujuan kita berpuasa untuk mencapai predikat taqwa,    لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Ayat ini menunjukkan tujuan berpuasa adalah agar tercapai ketaqwaan.Ibadah puasa yang dikerjakan dengan sebenarnya akan menghantarkan seseorang pada ketaqwaan. Seadangkan ketaqwaan adalah penghantar sesseorang mendapatkan kesuksesan/keberhasilan yang hakiki.


1.2  Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian Puasa ....
2.      Apa yang dimaksud Wajib Puasa ....
3.      Apa sajakah Macam-macam Puasa. ...
4.      Permasalahan apakah yang berkaitan dengan Puasa ....


1.3  Tujuan Masalah

1.  Untuk mengetahui apa pengertian Puasa ....
2.  Mengetahui apa saja yang dimaksud Wajb Puasa ....
3.  Agar mengetahui Macam-macam Puasa ....
4.  Mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan Puasa ....





















BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Pengertian Puasa
                 
Puasa menurut syar’i dalam bahasa arab disebut dengan kata (shiyaam atau shoum). Sedangkan defenisi puasa secara bahasa menahan segala perbuatan dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat dan syarat tertentu.
 Allah menegaskan tentang  mewajibkan puasa dalam surah Al-baqarah ayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa (Q.S.Al-baqarah 183).
            Pada ayat ini akan dibahas tentang :
1.      Sikap tentang seruan : “ wahai orang-orang yang beriman...”
2.      Defenisi Puasa
3.      Puasa telah diwajibkan pada umat sebelum kita
4.      Tujuan untuk mencapai ketaqwaan

Penjelasan :
Sikap terhadap seruan: ”wahai orang-orang yang beriman...”
Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud radiyallhu anhu berkata :
إِذَا سَمِعْتَ اللَّهَ يَقُولُ: ” يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ” فَأَرْعِهَا سَمْعَكَ فَإِنَّهُ خَيْرٌ يَأْمُرُهُ، أَوْ شَرٌّ يَنْهَى عَنْهُ
“Jika enkau mendengar Allah berfirman :” Wahai orang-orang beriman” maka pasang pendengaran baik-baik karna padanya pasti terdapat kebaikan baik yang diperintahkan atau keburukan yang akan dilarang” (riwayat Ibnu Hatim dalam tafsirnya dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’).
            Setaip perintah dalam Al-qur’an pasti mengandung kabaikan, kemaslahatan, keberuntungan, manfa’at, keindahan, keberkahan. Sedangkan setiap larangan Al-qur’an pasti mengandung kerugian, kebinasaan, kehancuran, keburukan (Tafsir Ibnu katsir(1/200)).
Puasa dalam bahasa arab disebut (shiyam atau shoum). Sedangkan menurut bahasa adalah menahan diri dari segala suatu perbuatan dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Dalam Al-quran, ada ayat yang menunjukkan pengunaan defenisi puasa secara bahasa. Yaitu perintah Allah kepada Maryam (Ibunda Nabi Isa’) :                                                  
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
“Sesungguhnya aku bernadzar puasa untuk ar-rahman (Allah) sehinnga aku tidak akan berbicara pada hari ini dengan manusia manapun (Q.S. Maryam : 26)
Dalam ayat tersebut,Maryam bernadzar untuk puasa, namun dalam defenisi secara bahasa “menahan diri untuk tidak berbicara” sedangkan defenisi puasa secara syar’i adalah “Beribadah kepada Allah disertai dengan niat dalam bentuk menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa dari sejak terbit fajar shaddiq hingga terbenamnya matahari
            Puasa juga termasuk amalan-amalan ibadah yang memperkokoh pondasi agama, sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah hadis :

بُنِي الْإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ اَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَإِقَامِ الصَّلاَةِ, وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ, وَحَجِّ الْبَيْتِ, وَصَوْمِ رَمَضَانَ. (رواه البُخَارى ومسلم و احمد).
Di bina islam itu kepada 5 pondasi:
1.      Bersaksi tiada tuhan selain Allah dan nabi Muhammad adalah utusan Allah,
2.      Mengerjakan shalat,
3.      Membayar zakat,
4.      Melakanakan haji (bagi yang mampu),
5.      Dan berpuasa di bulan ramadhan.

Dalam hadis lain juga dijelaskan :

وَعَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: كَلُّ عَمَلِ ابْنِ ادَمَ لَهُ إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّه لِىْ وَاَنَا اَجْزِىْ بِهِ, وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ, فَإِذَا كَانَ يَوْمَ صِوْمِ اَحَدِكُمْ فَلاَيَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ, فَإِنَّ سَابَّهُ اَحَدٌ اَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: اِنِّيْ صَائِمٌ. وَ الَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِ الصَّائِمِ اَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ, للِصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا اَفْظَرَ فَرِحَ, وَ إِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ. (متفق عليه, و هذا لفظ رواية البخارى)
Artinya :
“Allah telah berfirman semua anak cucu Adam dapat dicampuri semua kepentingan hawa nafsunya kecuali berpuasa, maka itu adalah untukku dan aku(Allah) yang akan membalasnya. Dan berpuasa itu adalah perisai, maka jika seorang berpuasa janagnlah berbuat keji atau ribut-ribut, dan kalau seseorang mencaci makinya, atau mengajak berkelahi, maka hendaklah katakan padanya “aku sedang berpuasa”. Demi Allah yang jiwaku ditangan-Nya, bau mulut orang yang sedang berpuasa bagi Allah lebih harum dari baunya misik (kasturi). Dan untuk orang yang berpuasa dua kali masa gembira, yaitu ketika akan berbuka, dan ketika ia akan menghadap Tuhan benar-benar gembira, menerima pahala puasanya (HR. Bukhari dan Muslim).

2.2  Pengertian Wajib Puasa
            Allah telah menegaskan dalam Al-qur’an surah Al-Baqarah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ
Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa (Q.S.Al-baqarah 183).
Dari ayat tersebut kita menemukan sepotong ayat:
عَلَيْكُمُ كُتِبَ الصِّيَامُ          
“ Telah diwajibkan kepada kalian berpuasa “
Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban puasa bagi orang-orang beriman umat Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat selanjutnya akan dijelaskan tentang melaksanakn puasa itu tidak untuk seluruh waktu, namun pada hari-hari tertentu saja, seperti bulan ramadhan.
            Dari ayat tersebut juga menujukkan bukan hanya umat nabi Muhammad saja yang melaksanakan puasa, tetapi ada umat-umat terdahulu yang melaksanakan puasa sebelum kita.
قَبْلِكُمْمِنْالَّذِينَعَلَىكُتِبَكَمَا
Tidak didapati dalam hadist yang shahih tentang bagaimana tata cara berpuasa umat terdahulu. Terdapat beberapa hadist, namun lemah. Seperti hadist Daghfal bin Handzhalah diriwayatkan at-thobrany dan lainnya yang menyebutkan bahwa awalnya kaum Nasrani berpuasa Ramadhan, kemudian ada raja-raja mereka yang sakit dan bernadzar jika Allah beri kesembuhan akan menambah jumlah hari puasanya. Demikian berlangsung hingga kemudian jumllah hari puasa mereka menjadi 50 hari. Dan perintah puasa juga syariat yang terakhir sebagai penyempurna syariat-syariat sebelumnya.
Tujuan utama ibadah puasa yang kita kerjakan ialah untuk mencapai Ketaqwaan,
…لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
ayat ini menunjukkan tujuan berpuasa adalah agar tercapai ketakwaan. Ibadah puasa yang dikerjakan dengan sebenarnya akan menghantarkan seseorang pada ketakwaan. Sedangkan ketakwaan adalah penghantar seseorang mendapatkan kesuksesan/ keberhasilan yang hakiki.

2.3  Macam-macam Puasa
Macam-macam Puasa :
1) Puasa Wajib
A.    Puasa Ramadhan
Puasa ramadhan adalah puasa wajib yang dikerjakan bagi setiap muslim pada bulan Ramadhan selama sebulan penuh.                                                                                                                
B.     Puasa Nadzar
Nadzar secara bahasa berarti janji. Puasa nadzar adalah puasa yang disebabkan karena      janji seseorang utuk mengerjakan puasa. Misaalkan, Fulan apabila ia mendapatkan sepeda dari hasil tabungannya maka ia akan berpuasa 3 hari berturut-turut, maka apabila ia benar-benar mendapatkan sepeda tersebut maka ia wajib mengerjakan puasa selama 3 hari berturut-turut.
Berkaitan dengan puasa nadzar Rasullullah pernah bersabda, yang artinya:
“Barang siapa yang bernadzar akan mentaati perintah Allah, maka hendaklah ia kerjakan (H.R. Bukhari).
C.     Puasa Kafarat

Kafarat berasal dari kata Kafara yang artinya menutupi sesuatu. Puasa kafarat secara istilah adalah puasa untuk mengganti denda yang wajib ditunaikan disebabkan oleh suatu perbutan dosa,yang bertujuan untuk menutupi dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh perbutan dosa yang diperbuat tersebut baik di dunia maupun di akhirat.
2) Puasa Sunnah
A.  Puasa enam hari pada bulan Syawal
Boleh dilakukan secara berurut ataupun tidak. Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Keutamaan puasa Ramadhan yang diiringi puasa Syawal ialah seperti orang berpuasa selama setahun (H.R Muslim).

B. Puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah
Yang dimaksud adalah puasa di sembilan hari yang pertama dari bulan ini, tidak termasuk hari yang ke-10. Karena hari ke-10 adalah hari raya kurban dan diharamkan untuk berpuasa.

C.  Puasa hari Arafah
Yaitu puasa pada hari ke-9 bulan Dzuhijjah. Keutamaannya, akan dihapuskan dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang (HR. Muslim). Yang dimaksud dengan dosa-dosa di sini adalah khusus untuk dosa-dosa kecil, karena dosa besar hanya bisa dihapus dengan bertaubat.

D. Puasa Muharrom
Yaitu puasa pada bulan Muharram terutama pada hari Assyuro’. Keutamaannya puasa ini, sebagaimana disebutkan dalam hadist riwayat Bukhari, yakni puasa di bulan ini adalah puasa yang paling utama setelah puasa bulan Romadhon.

E. Puasa Assyuro’
Hari Assyuro’ adalah hari ke-10 dari bulan Muharram. Nabi shalallahu ‘alaihi wasssalam memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari Assyuro’ ini dan mengiringinya dengan puasa 1 hari sebelum atau sesudahnhya. Hal ini bertujuan untuk menyelisihi umat Yahudi dan Nasrani yang hanya berpuasa pada hari ke-10. Keutamaan: akan dihapus dosa-dosa (kecil) di tahun sebelumnya (HR. Muslim).

F. Puasa Sya’ban
Yang dimaksud puasa Sya’ban adalah memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban. Keutamaan: Bulan ini adalah bulan di mana semua amal diangkat kepada Rabb semesta alam (HR. An-Nasa’i & Abu Daud, hasan)
.
G. Puasa Senin dan Kamis
Nabi telah menyuruh ummatnya untuk puasa pada hari Senin dan Kamis. Hari Senin adalah hari kelahiran Nabi Muhammad sedangkan hari Kamis adalah hari di mana ayat Al-Qur’an untuk pertama kalinya diturunkan. Perihal hari Senin dan Kamis, Rasulullah juga telah bersabda:
“Amal perbuatan itu diperiksa pada setiap hari Senin dan Kamis, maka saya senang diperiksa amal perbuatanku, sedangkan saya sedang berpuasa. (HR Tirmidzi)

H. Puasa Tengah Bulan (tiga hari setiap bulan Qamariyah)
Disunnahkan untuk melakukannya pada hari-hari putih (Ayyaamul Bidh) yaitu tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan qamariyah.

I. Puasa Dawud
Cara mengerjakan puasa nabi Dawud adalah dengan sehari puasa sehari tidak puasa, atau selang-seling. Puasa nabi Dawud adalah puasa yang paling disukali oleh Allah swt. (HR. Bukhari-Muslim).

3) Puasa Makruh
Kapan puasa hukumnya makruh? Puasa yang makruh dilakukan adalah puasa pada hari Jumat dan Sabtu yang tidak bermaksud mengqadha’ Ramadhan, membayar nadzar atau kafarat, atau tidak diniatkan untuk puasa sunnah tertentu. Jadi seseorang yang puasa pada hari Jumat atau Sabtu dengan niat mengqadha’ puasa Ramadhan tidak termasuk puasa makruh. Misal tanggal 9 Dzulhijjah jatuh pada hari Sabtu maka puasa hari Sabtu pada waktu itu menjadi puasa sunnah bukan makruh. Ada pendapat lain yang lebih keras bahkan menyatakan bahwa puasa pada hari Jumat tergolong puasa haram jika dilakukan tanpa didahului hari sebelum atau sesudahya.

4) Puasa Haram
Ada puasa pada waktu tertentu yang hukumnya haram dilakukan, baik karena waktunya atau karena kondisi pelakukanya.

A. Hari Raya Idul Fitri
Tanggal 1 Syawwal telah ditetapkan sebagai hari raya sakral umat Islam. Hari itu adalah hari kemenangan yang harus dirayakan dengan bergembira. Karena itu syariat telah mengatur bahwa di hari itu tidak diperkenankan seseorang untuk berpuasa sampai pada tingkat haram. Meski tidak ada yang bisa dimakan, paling tidak harus membatalkan puasanya atau tidak berniat untuk puasa.

B. Hari Raya Idul Adha
Hal yang sama juga pada tanggal 10 Zulhijjah sebagai Hari Raya kedua bagi umat Islam. Hari itu diharamkan untuk berpuasa dan umat Islam disunnahkan untuk menyembelih hewan Qurban dan membagikannya kepada fakir msikin dan kerabat serta keluarga. Agar semuanya bisa ikut merasakan kegembiraan dengan menyantap hewan qurban itu dan merayakan hari besar.

C. Hari Tasyrik
Hari tasyrik adalah tanggal 11, 12 dan 13 bulan Zulhijjah. Pada tiga hari itu umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya Idul Adha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Pada tiga hari itu masih dibolehkan utnuk menyembelih hewan qurban sebagai ibadah yang disunnahkan sejak zaman nabi Ibrahim as.

           
D.    Puasa sepanjang tahun / selamanya
Diharamkan bagi seseorang untuk berpuasa terus setiap hari. Meski dia sanggup untuk mengerjakannya karena memang tubuhnya kuat. Tetapi secara syar`i puasa seperti itu dilarang oleh Islam. Bagi mereka yang ingin banyak puasa, Rasulullah SAW menyarankan untuk berpuasa seperti puasa Nabi Daud as yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.


2.4  Permasalahan yang berkaitan dengan Puasa
            A. Syarat Wajib Puasa
Syarat wajibnya puasa yaitu: (1) islam, (2) berakal, (3) sudah baligh, dan (4) mengetahui akan wajibnya puasa.
            B. Syarat Wajibnya Penunaian Puasa
Syarat wajib penunaian puasa, artinya ketika ia mendapati waktu tertentu, maka ia dikenakan kewajiban puasa. Syarat yang dimaksud adalah sebagai berikut.
(1) Sehat, tidak dalam keadaan sakit.
(2) Menetap, tidak dalam keadaan bersafar. Dalil kedua syarat ini adalah firman Allah
مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَعَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ
Dan barangsiapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 185).
Kedua syarat ini termasuk dalam syarat wajib penunaian puasa dan bukan syarat sahnya puasa dan bukan syarat wajibnya qodho’ puasa. Karena syarat wajib penunaian puasa di sini gugur pada orang yang sakit dan orang yang bersafar. Ketika mereka tidak berpuasa saat itu, barulah mereka qodho’ berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun jika mereka tetap berpuasa dalam keadaan demikian, puasa mereka tetap sah.
(3) suci dari haidh dan nifas. Dalilnya adalah dari Mu’adzah, ia pernah bertanya pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Yang artinya:
Dari Mu’adzah dia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah seraya berkata, ‘Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?’ Maka Aisyah menjawab, ‘Apakah kamu dari golongan Haruriyah? ‘ Aku menjawab, ‘Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.’ Dia menjawab, ‘Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat’.”(HR. Muslim no. 335).Berdasarkan kesepakatan para ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas tidak wajib puasa dan wajib mengqodho’ puasanya.
C. Syarat sahnya Puasa
Syarat sahnya puasa ada dua, yaitu:
(1) Dalam keadaan suci dari haidh dan nifas. Syarat ini adalah syarat terkena kewajiban puasa dan sekaligus syarat sahnya puasa.
(2) Berniat. Niat merupakan syarat sah puasa karena puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat sebagaimana ibadah yang lain. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (H.R. Bukhari)
D. Rukun Puasa
Berdasarkan kesepakatan para ulama, rukun puasa adalah menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
                       وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ
مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187). Yang dimaksud dari ayat adalah, terangnya siang dan gelapnya malam dan bukan yang dimaksud benang secara hakiki.
Dari ‘Adi bin Hatim ketika turun surat Al Baqarah ayat 187, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,
 ذَاكَ بَيَاضُ النَّهَارِ مِنْ سَوَادِ اللَّيْلِإِنَّمَا
Yang dimaksud adalah terangnya siang dari gelapnya malam”(HR. Tirmidzi no. 2970, beliau mengatakan bahwa hadis ini hasan shahih).
E.     Sahur dan Berbuka
v  Sahur
Defenisi sahur adalah Sahur adalah makan pada akhir malam yang merupakan sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Ketika sahur hendaklah seseorang berniat melaksanakan perintah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan meniru perbuatannya sehingga sahurnya menjadi ibadah dan berniat pula agar sahur menjadikannya kuat ketika berpuasa sehingga mendapat pahala karenanya. (Majelis Syahr Ramadhan, Syaikh Utsaimin 77-78).
Adapun hikmah dari sahur, Dari Amr bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab adalah makan sahur.” (HR. Muslim).
Keutamaan sahur ialah sebagai barokahDari Abdullah bin Al Harits radhiallahu ‘anhu dari seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam berkata: “Aku masuk menemui Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam ketika beliau maka sahur, lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya makan sahur adalah barokah yang Allah berikan kepadamu maka janganlah kamu tinggalkan.” (HR. An Nasa-i dan Ahmad. Sanadnya shahih)

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Bersahurlah, karena sesungguhnya ada barokah padanya.” (Muttafaq ‘alaih).
Keberadaan sahur sebagai barokah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menjadikan seseorang semangat untuk selalu puasa karena merasa ringan, dan makan sahur juga menyelisihi Ahlul Kitab karena mereka tidak melakukannya.
           
v  Berbuka
Waktu berbuka puasa bagi orang yang puasa adalah ketika matahari telah terbenam. Hal ini berdasarkan hadits dari Umar radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Artinya:
Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini, dan telah terbenam matahari, maka berbukalah orang yang puasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam berbuka kita juga di sunnahkan unutuk menyegerakannya.Amr bin Maimun Al Audiy berkata: “Para sahabat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur.” (Riwayat Abdur Razaq dan al Haitsami)
Dari Sahl bin Sa’ad radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Manusia terus berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Hibban. Sanadnya hasan).
banyak hikmah dari puasa Ramadhan tersebut, orang yang memberi makan orang yang sedang berpuasa, Rasulullah bersabda:
Artinya :
Barangsiapa memberi buka orang yang puasa, ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh At Tirmidzi).



BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
            Dari uraian di atas dapat kami ambil kesimpulan bahwa ibadah puasa tidak hanya dilakukan oleh umat-umat nabi Muhammad, tetapi sebelum umat nabi Muhammad, umat-umat terdahulu telah melakukan ibadah puasa tersebut, sehinnga kita sebagai orang mu’min tidak merasa hanya kita yang terbebani oleh perintah ibadah puasa tersebut. Allah juga tidak mempersulit bagi kaum muslimin yang dalam keadaan sakit ataupun yang berada dalam perjalanan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam Al-qur’an:184
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
(pada) hari-hari yang tertentu. Barangsiapa yang sakit atau safar, maka mengganti di hari lain. Bagi orang yang mampu, maka ia membayar fidyah memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (membayar kelebihan), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Adapun perbedaan puasa yang kita lakukan dengan Ahlul Kitab ialah di saat kita sedang sahur dan berbuka, umat muslim memperlambatsahur dan menyegerakan berbuka.
            Perbedaan antara puasa kita dengan Ahlul Kitab adalah makan sahur”(Muttafakun a’laih)

            “Manusia terus berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka”(H.R.Bukhari Muslim).

No comments:

Post a Comment