Monday, February 9, 2015

Orang yang Selalu Menggaruk Wajah

Orang yang Selalu Menggaruk Wajah

“Kek, Nani tidak bisa tidur. Ceritakan sesuatu, apa saja. Hanya cerita kakeklah yang bisa menina-bobokkan Nani.” Kata Nani manja.
Lantas kakek pun berkisah tentang orang yang selalu menggaruk wajah.

Seluruh warga desa yang pernah berkunjung ke warung di gang buntu itu, pasti sudah tahu, bahwa penjualnya selalu menggaruk wajah. Memang siapa yang tidak pernah menggaruk wajah? Di dunia ini, tidak sedikit orang yang diam-diam menggaruknya. Banyak orang yang menggaruk wajah, tetapi pasti tidak sesering dia. Semakin banyak warga desa yang membeli diwarungnya, semakin rajin pula dia menggaruk-garuk setiap bagian kecil dari wajahnya. Sampai-sampai nama asli dari orang itu tiada lagi diingat, kecuali bila diiringi dengan sebutan baru; yang selalu menggaruk wajah itu kan? Dan pasti selalu ditanggapi kembali dengan
"Ya! Dia yang selalu menggaruk-garuk wajah."
Itulah mulanya dia dikenal sebagai orang yang selalu menggaruk wajah. Sejauh itu, dia memang merasakan bahwa wajahnya selalu gatal. Dan setiap kali wajahnya merasa gatal, dirinya selalu bergegas menuju cermin dan memastikan keadaan wajahnya.
Walaupun fakta-nyatanya, wajah itu tidak benar-benar merasa gatal. Nyaris setiap kali menggaruk wajah, ia selalu berdiri di depan cermin untuk melihat perubahan pada wajahnya. Itu selalu diulanginya ketika baru melayani pembeli satu saja, ia harus segera menuju cermin untuk melihat wajahnya yang dirasa teramat gatal, begitu gatal. Seakan tidak ada lagi yang rasanya lebih gatal.
Tentunya dapat diterima betapa setiap muka yang gatal memang sebaiknya, lebih baik malah seharusnya, bahkan memang wajib untuk segera digaruk. Tetapi bagaimana kalau sebetulnya memang tidak ada apa-apa, tidak benar-benar gatal ataupun tidak ada bintik merah sedikitpun?
“Barangkali ia hanya merasa gatal saja, buk! Kebanyakan dosa mungkin.”
“Ah masa’ iya sih buk?! Yang saya kenal, beliau itu cukup baik!”
“Haduh buk… baik dari mana coba, lawong dia itu pelitnya setengah hidup, buk”
“Tidak ketulungan!”
“Iya, waktu itu saya minta sumbangan buat acara tujubelasan loo hanya diberi 1.000 rupiah aja. Pantas saja mukanya terus-terusan digaruk. Mungkin itu sebagai ganjarannya”
“Masa’ sih. Saya baru tahu lho kalau beliau begitu.”
“Hussh.. gak pantes disebut beliau.”
“Jangan gitu, Bu. Mungkin saja waktu itu dia lagi tidak punya uang dan mungkin saja mukanya itu memang gatal, buk.”
“Ya mungkin saja. Tapi bu, mukanya  itu gak apa-apa, gak ada jerawatnya apalagi lukanya, mukanya putih mulus, mulut nyamuk saja bisa bengkok saking licinnya. Tapi ko’ ya garuk-garuk terus tiap ada pembeli pulang.”
“Gatal gara-gara kena azab itu, Bu...!”

“Azab itu apa kek?” Potong Nani polos.
“Oh..” kakek tersenyum, “azab itu siksa yang dikirimkan Tuhan pada orang-orang jahat Nani. Dan rasa gatal itu adalah azab Tuhan sebab kejahatan.”
Sedang Nani kembali menyimak.
 
Demikian orang-orang yang pernah beli di warung itu bergunjing. Terus beradu mulut perihal pemilik warung yang selalu menggaruk-garuk mukanya di setiap kali ada pembeli pulang dari warungnya.
“Wajah di cermin itu” pikirnya. “Wajah inilah…”
Wajah yang dikenal oleh semua orang desa. Lagi pula siapa yang tidak mengenalnya. Pedagang beras yang terkemuka di desa itu. Agen beras paling terhormat bagai tiada lagi yang lebih terhormat dibandingkan dirinya. Karena itulah dia harus memperhatikan penampilan apalagi bagian wajah. Ia terus berupaya dan memastikan bahwa wajahnya baik-baik saja. terlebih bila merasa gatal, ia harus segera menghilangkannya. Sesegera mungkin. Karena hal itu akan mempengaruhi pandangan orang-orang terhadapnya.
Sementara dia tidak begitu ambil pusing dengan kata orang. Toh panggilan apapun tidak menambah rasa gatal di mukanya. Namun, ia sendiri bingung dari mana datangnya. Padahal selama ini, ia merasa tidak terjangkit penyakit apapun. Banyak orang yang tiba-tiba memanggil dirinya orang yang selalu menggaruk wajah. Memang, awalnya hanya merasa bintik merah di bawah bibir. Selanjutnya, terus tumbuh liar seperti rumput. Kedua pipi, layaknya jerawat. Tidak ketinggalan di jidat pun mulai tumbuh. Hidung,sekitar kelopak mata. Tetapi tidak benar-benar terjadi.
Ia pun berpikir betapa wajahnya yang penuh dengan bintik-bintik itu adalah wajah yang bersih. Bersih dan putih seumpama tiada lagi yang lebih bersih. Sebetulnya, ia juga ingin merasa bahwa wajahnya tidak benar-benar gatal. Kadang ia juga berpikir mengapa harus selalu menggaruk-garuk wajah. Tapi bagaimanapun seolah ada kekuatan yang mendorong tangannya untuk terus bergerak. Ia merasakan gatal, bukan benar-benar gatal. Di wajahnya tumbuh bintik-bintik merah, tetapi tidak benar-benar tumbuh.
Dan terus saja dia melakukan kecurangan dalam menimbang beras. Mulai dari pembeli kecil seperti ibu rumah tangga, sampai pada pembeli besar seperti orang yang akan berhajat atau pemilik warung-warung makanan.
Pada suatu hari, saat dia bercermin, cermin itu memantulkan wajah yang berbintik-bintik merah yang terasa gatal. Bintik-bintik tersebut muncul hampir merata di seluruh wajahnya.
“Astaga, kenapa wajahku jadi seperti ini?”
Untuk seorang yang selalu memperhatikan penampilan, terlebih lagi dia seorang wanita, ini merupakan suatu masalah yang amat besar baginya.
“Tambah digaruk mengapa wajahku tambah memerah,” pikirnya, “apa-apaan ini?!”
Segeralah dia memeriksakan keadaan wajahnya pada praktik dokter umum di daerahnya. Apalah kiranya penyebab wajahnya yang semakin digaruk semakin timbul memerah ini. Esok hari, dia pergi ke tempat praktik dokter dengan mengenakan penutup wajah hingga yang terlihat hanya matanya saja. Tapi saat dia bertemu dokter, nyatanya dokter bilang wajah ibu baik-baik saja.
“Wajah ibu tidak apa-apa,” ujar dokter tersebut.
Ia sudah mencoba datang ke dokter lain, dan ia pun mendapat jawaban yang sama; “wajah ibu baik-baik saja. wajah ibu cantik”
Apa dokter-dokter itu mulai rabun, pikirnya.
Di rumah, ia merasa cemas. Sempat terpikir untuk pergi ke dokter spesialis kulit. Namun akhirnya dia mengurungkan niatnya itu. “percuma,” pikirnya, “hanya buang-buang uang saja. Apalagi dokter spesialis. Paling-paling jawabannya akan sama.”
Sempat pula terpikir untuk pergi ke dukun. “Tapi apa istimewanya dukun. Buat apa menggunakan jasa dukun. Apa ya ada dukun spesialis kulit? Ah, yang ada dukun pijet. Bukankah dukun identik dengan caleg. Tarif yang dipasang pun kadang menggila. Pantas, yang tidak berhasil langsung gila. Aku tidak ingin gila. Sekali lagi aku bukan caleg. Aku masih waras.” Gerutunya sendiri.
Apakah penglihatannya yang semakin bermasalah? Atau cermin di rumahnya itu yang rusak. Mana ada cermin rusak, pikirnya lagi.
Sungguh dia bersyukur, selama ini ternyata hanya perasaannya saja yang mengira betapa wajahnya semakin memerah dan membuatnya selalu menggaruk wajahnya.
Tiba-tiba saja wajah itu semakin hari semakin memerah dan menjadi sangat gatal. Benar-benar merah dan benar-benar gatal. Semula memang hanya bintik-bintik kemerahan, tetapi akhirnya semakin menjadi luka, bahkan kemudian juga terkelupas hingga menyebabkan lubang di wajahnya.
Sedang ia tak lagi menghiraukan mulut orang. Ia tetap saja bercermin, melihat wajah itu. Ia tetap saja menggaruk-garuk muka. Ia tetap merasa bahwa wajahnya paling cantik di dunia. Bahkan bidadari akhirat pun tidak akan mampu menandingi kecantikannya.
Suatu kali, ketika ada pembeli, ia melakukan kecurangan dengan mengurangi timbangan. Setelah melayani, ia berdiri di depan cermin. Ia terus menggaruk-garuk wajahnya. Benar! Bintik-bintik di wajah itu semakin bertambah. Lubang-lubang yang ada semakin menjadi. Luka-luka di sana semakin terbuka. Bahkan wajah itu tiada lagi pantas disebut wajah. Begitu mengerikan, begitu menakutkan. Tetapi ia merasa bahwa wajahnya adalah wajah paling menawan.
Demikianlah ia kemudian keluar warung, berjalan pelan di gang buntu itu dengan wajah penuh luka dan lubang. Ia ingin membanggakan betapa wajahnya adalah wajah paling menawan dan tidak ada lagi wajah menawan lain kecuali wajah miliknya.

Setiap warga yang melihat ternganga, tak mampu berkata-kata.

“Jangan takut…” kata kakek menenangkan Nani yang mulai beringsut di balik selimut. “tidurlah.. sudah malam.”

Kakek pun mengecup kening Nani, beranjak, dan mematikan lampu kamar. Sementara Nani terpejam, orang yang selalu menggaruk wajah itu hadir kembali dalam katup matanya.

No comments:

Post a Comment