Orang yang
Selalu Menggaruk Wajah
“Kek,
Nani tidak bisa tidur. Ceritakan sesuatu, apa saja. Hanya cerita kakeklah yang
bisa menina-bobokkan Nani.” Kata Nani manja.
Lantas
kakek pun berkisah tentang orang yang selalu menggaruk wajah.
Seluruh
warga desa yang pernah berkunjung ke warung di gang buntu itu, pasti sudah
tahu, bahwa penjualnya selalu menggaruk wajah. Memang siapa yang tidak pernah
menggaruk wajah? Di dunia ini, tidak sedikit orang yang diam-diam menggaruknya.
Banyak orang yang menggaruk wajah, tetapi pasti tidak sesering dia. Semakin
banyak warga desa yang membeli diwarungnya, semakin rajin pula dia
menggaruk-garuk setiap bagian kecil dari wajahnya. Sampai-sampai nama asli dari
orang itu tiada lagi diingat, kecuali bila diiringi dengan sebutan baru; yang
selalu menggaruk wajah itu kan? Dan pasti selalu ditanggapi kembali dengan
"Ya!
Dia yang selalu menggaruk-garuk wajah."
Itulah
mulanya dia dikenal sebagai orang yang selalu menggaruk wajah. Sejauh itu, dia
memang merasakan bahwa wajahnya selalu gatal. Dan setiap kali wajahnya merasa
gatal, dirinya selalu bergegas menuju cermin dan memastikan keadaan wajahnya.
Walaupun
fakta-nyatanya, wajah itu tidak benar-benar merasa gatal. Nyaris setiap kali
menggaruk wajah, ia selalu berdiri di depan cermin untuk melihat perubahan pada
wajahnya. Itu selalu diulanginya ketika baru melayani pembeli satu saja, ia
harus segera menuju cermin untuk melihat wajahnya yang dirasa teramat gatal,
begitu gatal. Seakan tidak ada lagi yang rasanya lebih gatal.
Tentunya
dapat diterima betapa setiap muka yang gatal memang sebaiknya, lebih baik malah
seharusnya, bahkan memang wajib untuk segera digaruk. Tetapi bagaimana kalau
sebetulnya memang tidak ada apa-apa, tidak benar-benar gatal ataupun tidak ada
bintik merah sedikitpun?
“Barangkali ia hanya merasa gatal saja, buk! Kebanyakan dosa
mungkin.”
“Ah masa’ iya sih buk?! Yang saya kenal, beliau itu cukup
baik!”
“Haduh buk… baik dari mana coba, lawong dia itu pelitnya setengah
hidup, buk”
“Tidak ketulungan!”
“Iya, waktu itu saya minta sumbangan buat acara tujubelasan loo
hanya diberi 1.000 rupiah aja. Pantas saja mukanya terus-terusan digaruk.
Mungkin itu sebagai ganjarannya”
“Masa’ sih. Saya baru tahu lho kalau beliau begitu.”
“Hussh.. gak pantes disebut beliau.”
“Jangan gitu, Bu. Mungkin saja waktu itu dia lagi tidak punya uang
dan mungkin saja mukanya itu memang gatal, buk.”
“Ya mungkin saja. Tapi bu, mukanya
itu gak apa-apa, gak ada jerawatnya apalagi lukanya, mukanya putih
mulus, mulut nyamuk saja bisa bengkok saking licinnya. Tapi ko’ ya garuk-garuk
terus tiap ada pembeli pulang.”
“Gatal gara-gara kena azab itu, Bu...!”
“Azab itu apa kek?” Potong Nani polos.
“Oh..” kakek tersenyum, “azab itu siksa yang dikirimkan Tuhan pada orang-orang jahat Nani. Dan rasa gatal itu adalah azab
Tuhan sebab kejahatan.”
Sedang Nani kembali menyimak.
Demikian orang-orang yang pernah beli di warung itu bergunjing.
Terus beradu mulut perihal pemilik warung yang selalu menggaruk-garuk mukanya
di setiap kali ada pembeli pulang dari warungnya.
“Wajah di cermin itu” pikirnya. “Wajah inilah…”
Wajah yang dikenal oleh semua orang desa. Lagi pula siapa yang
tidak mengenalnya. Pedagang beras yang terkemuka di desa itu. Agen beras paling
terhormat bagai tiada lagi yang lebih terhormat dibandingkan dirinya. Karena
itulah dia harus memperhatikan penampilan apalagi bagian wajah. Ia terus
berupaya dan memastikan bahwa wajahnya baik-baik saja. terlebih bila merasa
gatal, ia harus segera menghilangkannya. Sesegera mungkin. Karena hal itu akan
mempengaruhi pandangan orang-orang terhadapnya.
Sementara
dia tidak begitu ambil pusing dengan kata orang. Toh panggilan apapun tidak
menambah rasa gatal di mukanya. Namun, ia sendiri bingung dari mana datangnya.
Padahal selama ini, ia merasa tidak terjangkit penyakit apapun. Banyak orang
yang tiba-tiba memanggil dirinya orang yang selalu menggaruk wajah. Memang,
awalnya hanya merasa bintik merah di bawah bibir. Selanjutnya, terus tumbuh
liar seperti rumput. Kedua pipi, layaknya jerawat. Tidak ketinggalan di jidat
pun mulai tumbuh. Hidung,sekitar kelopak mata. Tetapi tidak benar-benar
terjadi.
Ia
pun berpikir betapa wajahnya yang penuh dengan bintik-bintik itu adalah wajah
yang bersih. Bersih dan putih seumpama tiada lagi yang lebih bersih.
Sebetulnya, ia juga ingin merasa bahwa wajahnya tidak benar-benar gatal. Kadang
ia juga berpikir mengapa harus selalu menggaruk-garuk wajah. Tapi bagaimanapun
seolah ada kekuatan yang mendorong tangannya untuk terus bergerak. Ia merasakan
gatal, bukan benar-benar gatal. Di wajahnya tumbuh bintik-bintik merah, tetapi
tidak benar-benar tumbuh.
Dan
terus saja dia melakukan kecurangan dalam menimbang beras. Mulai dari pembeli
kecil seperti ibu rumah tangga, sampai pada pembeli besar seperti orang yang
akan berhajat atau pemilik warung-warung makanan.
Pada
suatu hari, saat dia bercermin, cermin itu memantulkan wajah yang
berbintik-bintik merah yang terasa gatal. Bintik-bintik tersebut muncul hampir
merata di seluruh wajahnya.
“Astaga,
kenapa wajahku jadi seperti ini?”
Untuk
seorang yang selalu memperhatikan penampilan, terlebih lagi dia seorang wanita,
ini merupakan suatu masalah yang amat besar baginya.
“Tambah
digaruk mengapa wajahku tambah memerah,” pikirnya, “apa-apaan ini?!”
Segeralah
dia memeriksakan keadaan wajahnya pada praktik dokter umum di daerahnya. Apalah
kiranya penyebab wajahnya yang semakin digaruk semakin timbul memerah ini. Esok
hari, dia pergi ke tempat praktik dokter dengan mengenakan penutup wajah hingga
yang terlihat hanya matanya saja. Tapi saat dia bertemu dokter, nyatanya dokter
bilang wajah ibu baik-baik saja.
“Wajah
ibu tidak apa-apa,” ujar dokter tersebut.
Ia
sudah mencoba datang ke dokter lain, dan ia pun mendapat jawaban yang sama;
“wajah ibu baik-baik saja. wajah ibu cantik”
Apa
dokter-dokter itu mulai rabun, pikirnya.
Di
rumah, ia merasa cemas. Sempat terpikir untuk pergi ke dokter spesialis kulit.
Namun akhirnya dia mengurungkan niatnya itu. “percuma,” pikirnya, “hanya
buang-buang uang saja. Apalagi dokter spesialis. Paling-paling jawabannya akan
sama.”
Sempat
pula terpikir untuk pergi ke dukun. “Tapi apa istimewanya dukun. Buat apa
menggunakan jasa dukun. Apa ya ada dukun spesialis kulit? Ah, yang ada dukun
pijet. Bukankah dukun identik dengan caleg. Tarif yang dipasang pun kadang
menggila. Pantas, yang tidak berhasil langsung gila. Aku tidak ingin gila.
Sekali lagi aku bukan caleg. Aku masih waras.” Gerutunya sendiri.
Apakah
penglihatannya yang semakin bermasalah? Atau cermin di rumahnya itu yang rusak.
Mana ada cermin rusak, pikirnya lagi.
Sungguh
dia bersyukur, selama ini ternyata hanya perasaannya saja yang mengira betapa
wajahnya semakin memerah dan membuatnya selalu menggaruk wajahnya.
Tiba-tiba
saja wajah itu semakin hari semakin memerah dan menjadi sangat gatal.
Benar-benar merah dan benar-benar gatal. Semula memang hanya bintik-bintik
kemerahan, tetapi akhirnya semakin menjadi luka, bahkan kemudian juga
terkelupas hingga menyebabkan lubang di wajahnya.
Sedang
ia tak lagi menghiraukan mulut orang. Ia tetap saja bercermin, melihat wajah
itu. Ia tetap saja menggaruk-garuk muka. Ia tetap merasa bahwa wajahnya paling
cantik di dunia. Bahkan bidadari akhirat pun tidak akan mampu menandingi
kecantikannya.
Suatu
kali, ketika ada pembeli, ia melakukan kecurangan dengan mengurangi timbangan.
Setelah melayani, ia berdiri di depan cermin. Ia terus menggaruk-garuk
wajahnya. Benar! Bintik-bintik di wajah itu semakin bertambah. Lubang-lubang
yang ada semakin menjadi. Luka-luka di sana semakin terbuka. Bahkan wajah itu
tiada lagi pantas disebut wajah. Begitu mengerikan, begitu menakutkan. Tetapi
ia merasa bahwa wajahnya adalah wajah paling menawan.
Demikianlah
ia kemudian keluar warung, berjalan pelan di gang buntu itu dengan wajah penuh
luka dan lubang. Ia ingin membanggakan betapa wajahnya adalah wajah paling
menawan dan tidak ada lagi wajah menawan lain kecuali wajah miliknya.
Setiap
warga yang melihat ternganga, tak mampu berkata-kata.
“Jangan
takut…” kata kakek menenangkan Nani yang mulai beringsut di balik selimut.
“tidurlah.. sudah malam.”
Kakek pun
mengecup kening Nani, beranjak, dan mematikan lampu kamar. Sementara Nani
terpejam, orang yang selalu menggaruk wajah itu hadir kembali dalam katup
matanya.
No comments:
Post a Comment