BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Taqlid...............................................................................................
[1]Kata taqlid (تقليد) berasal dari fi’il madi (kata dasar) تقلد dan قلد yang secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kalau dikatakan: قلد عامة مصر الشافعى , berarti masyarakat awam Mesir mengikuti pendapat Imam al-Syafi'i. Hal demikian mengandung arti menjadikan pendapat Imam al-Syafi’i sebagai kalung.................................................................................
Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata qiladah ( قلادة ) sedangkan qiladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asalnya, قلادة (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang. Kalau yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian. Dari uraian di atas, maka jelas bahwa secara lughawi bila dikatakan, “si A ber kepada si B”, berarti si A mengikuti pendapat si B itu dengan patuh tanpa merasa perlu mengetahui kenapa pendapat si B begitu. Dari taqlid menurut pengertian lughawi itu berkembang menjadi istilah hukum yang hakikatnya tidak berjauhan dari maksud lughawi itu. Di antara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:..........................................................
1. Al-Ghazali memberikan definisi: .................................................................
قبول قول بلا حجة وليس ذلك طريقا إلى العلم لا فى الأصول, ولا فى الفروع
[1]Kata taqlid (تقليد) berasal dari fi’il madi (kata dasar) تقلد dan قلد yang secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kalau dikatakan: قلد عامة مصر الشافعى , berarti masyarakat awam Mesir mengikuti pendapat Imam al-Syafi'i. Hal demikian mengandung arti menjadikan pendapat Imam al-Syafi’i sebagai kalung.................................................................................
Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata qiladah ( قلادة ) sedangkan qiladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asalnya, قلادة (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang. Kalau yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian. Dari uraian di atas, maka jelas bahwa secara lughawi bila dikatakan, “si A ber kepada si B”, berarti si A mengikuti pendapat si B itu dengan patuh tanpa merasa perlu mengetahui kenapa pendapat si B begitu. Dari taqlid menurut pengertian lughawi itu berkembang menjadi istilah hukum yang hakikatnya tidak berjauhan dari maksud lughawi itu. Di antara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:..........................................................
1. Al-Ghazali memberikan definisi: .................................................................
قبول قول بلا حجة وليس ذلك طريقا إلى العلم لا فى الأصول, ولا فى الفروع
Menerima ucapan tanpa hujjah (argumentasi) dan tidak termasuk cara
yang dipergunakan untuk mendapatkan ilmu, baik dalam masalah usul maupun furu’.
2. Al-Khudhari Beik menambahkan :........................................................................
دون الأصول.إلا أنه لما كان الظن فى الفروع كافيا للعمل و فى الأصول غير كاف جاز فى الفروع
kecuali ketika dugaan (yang dapat dijadikan dasar untuk merumuskan hukum) dalam furu' itu cukup untuk diamalkan dan dalam usul belum cukup, maka ia dibolehkan dalam furu' tidak dalam usul...................................................................
3. Ibn Subki dalam kitab Jam‘ul Jawami' merumuskan definisi:...............................
التقليد هو أخذ القول من غير معرفة دليل
Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil..............................
4. Al-Asnawi dalam kitab Nihayat al-Usul mengemukakan definisi:........................
التقليد هو الأخذ بقول غيره من غير دليل
2. Al-Khudhari Beik menambahkan :........................................................................
دون الأصول.إلا أنه لما كان الظن فى الفروع كافيا للعمل و فى الأصول غير كاف جاز فى الفروع
kecuali ketika dugaan (yang dapat dijadikan dasar untuk merumuskan hukum) dalam furu' itu cukup untuk diamalkan dan dalam usul belum cukup, maka ia dibolehkan dalam furu' tidak dalam usul...................................................................
3. Ibn Subki dalam kitab Jam‘ul Jawami' merumuskan definisi:...............................
التقليد هو أخذ القول من غير معرفة دليل
Taqlid ialah mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil..............................
4. Al-Asnawi dalam kitab Nihayat al-Usul mengemukakan definisi:........................
التقليد هو الأخذ بقول غيره من غير دليل
Mengambil perkataan orang lain tanpa dalil
Banyak definisi lain yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan definisi yang dikemukakan di atas. Definisi yang dikemukakan al-Asnawi banyak menjelaskan kesamaran yang terdapat dalam definisi al-Ghazali tersebut. Dalam definisinya digunakan kata “mengambil” sebagai ganti dari kata “menerima”, tetapi keduanya sama maksudnya. Dengan kata “orang lain” jelas bahwa kata yang diambil itu adalah kata atau pendapat orang lain, bukan kata atau pendapatnya sendiri. Kata “tanpa dalil” menjelaskan maksud dari “tanpa hujjah” yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Namun kekaburan timbul pula dari kata “tanpa dalil itu”. Maksud tanpa dalil itu bukan berarti pendapat yang diambil itu tidak mempunyai dalil sama sekali, tetapi pihak yang menerima atau mengambil pendapat orang lain itu tidak mengetahui dalil-dalil yang dikemukakan oleh orang lain tersebut. Mengenai pertanyaan tentang bagaimana kalau yang diambil atau diterima itu adalah perbuatan, bukan ucapan atau pendapat, tampaknya ketiga definisi di atas belum memberikan jawaban. Al-Mahalli yang mensyarah kitab Jam‘ul Jawami' menjelaskan bahwa menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk perbuatan atau pengakuan tidak disebut taqlid..........................
Dari definisi yang disebutkan di atas adalah kata “tanpa hujjah” atau “tanpa dalil” atau “tanpa mengetahui dalil” orang yang memiliki pendapat. Fasal ini memberikan penjelasan bahwa bila pihak yang mengambil atau menerima pendapat itu ada hujjahnya atau ia mengetahui dalilnya, maka cara tersebut tidak dinamai “taqlid”, tetapi merupakan karya ijtihad yang kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang diikutinya.Ibn al-Humman (dari kalangan ulama Hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran yang terdapat dalam ketiga definisi di atas, yaitu;..............................................................
التقليد هو العمل بقول من ليس قوله إحدى الحجج بلا حجة منها
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujjah, tanpa mengetahui hujjahnya........................................................
Sehubungan dengan definisi tersebut, maka menerima pendapat Nabi yang bernilai hujjah dengan sendirinya, begitu pula jika menerima pendapat yang lahir dari kesepakatan dalam ijma' maka tidak disebut taqlid, meskipun pada waktu menerimanya tanpa hujjah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat mujtahid secara perorangan adalah bukan hujjah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, disebut taqlid..............................
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi di atas, dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu:...............................................................................
1. Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2. Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab¬-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.....................................
Dari penjelasan hakikat taqlid yang merupakan kriteria dari taqlid sebagaimana disebutkan di atas dan dihubungkan pula dengan ijtihad dan mujtahid yang telah dijelaskan sebelum ini, maka terlihat ada tiga lapis umat Islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum Islam atau shara', yaitu:...................
1. Mujtahid ( المجتهد ), yaitu orang yang mempunyai pendapat yang dihasil¬kan melalui ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil ijtihadnya dan tidak mengikuti hasil ijtihad lainnya. Ini yang disebut mujtahid mutlaq.............................................
2. Muqallid. ( المقلد ), yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatnya sendiri, karena itu ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya itu................................................................
3. Muttabi' ( المتبع ), yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengikuti pendapat dan cara-cara yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya.
Banyak definisi lain yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan definisi yang dikemukakan di atas. Definisi yang dikemukakan al-Asnawi banyak menjelaskan kesamaran yang terdapat dalam definisi al-Ghazali tersebut. Dalam definisinya digunakan kata “mengambil” sebagai ganti dari kata “menerima”, tetapi keduanya sama maksudnya. Dengan kata “orang lain” jelas bahwa kata yang diambil itu adalah kata atau pendapat orang lain, bukan kata atau pendapatnya sendiri. Kata “tanpa dalil” menjelaskan maksud dari “tanpa hujjah” yang dikemukakan oleh al-Ghazali. Namun kekaburan timbul pula dari kata “tanpa dalil itu”. Maksud tanpa dalil itu bukan berarti pendapat yang diambil itu tidak mempunyai dalil sama sekali, tetapi pihak yang menerima atau mengambil pendapat orang lain itu tidak mengetahui dalil-dalil yang dikemukakan oleh orang lain tersebut. Mengenai pertanyaan tentang bagaimana kalau yang diambil atau diterima itu adalah perbuatan, bukan ucapan atau pendapat, tampaknya ketiga definisi di atas belum memberikan jawaban. Al-Mahalli yang mensyarah kitab Jam‘ul Jawami' menjelaskan bahwa menerima atau mengambil selain ucapan, baik dalam bentuk perbuatan atau pengakuan tidak disebut taqlid..........................
Dari definisi yang disebutkan di atas adalah kata “tanpa hujjah” atau “tanpa dalil” atau “tanpa mengetahui dalil” orang yang memiliki pendapat. Fasal ini memberikan penjelasan bahwa bila pihak yang mengambil atau menerima pendapat itu ada hujjahnya atau ia mengetahui dalilnya, maka cara tersebut tidak dinamai “taqlid”, tetapi merupakan karya ijtihad yang kebetulan hasilnya bersamaan dengan yang diikutinya.Ibn al-Humman (dari kalangan ulama Hanafiyah) memberikan definisi lebih lengkap yang menjelaskan kesamaran yang terdapat dalam ketiga definisi di atas, yaitu;..............................................................
التقليد هو العمل بقول من ليس قوله إحدى الحجج بلا حجة منها
Taqlid ialah beramal dengan pendapat seseorang yang pendapatnya itu bukan merupakan hujjah, tanpa mengetahui hujjahnya........................................................
Sehubungan dengan definisi tersebut, maka menerima pendapat Nabi yang bernilai hujjah dengan sendirinya, begitu pula jika menerima pendapat yang lahir dari kesepakatan dalam ijma' maka tidak disebut taqlid, meskipun pada waktu menerimanya tanpa hujjah atau tidak mengetahui dalilnya. Sebaliknya, pendapat mujtahid secara perorangan adalah bukan hujjah, maka bila seseorang mengikuti pendapat mujtahid itu tanpa mengetahui dalilnya, disebut taqlid..............................
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi di atas, dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu:...............................................................................
1. Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2. Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3. Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab¬-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu.....................................
Dari penjelasan hakikat taqlid yang merupakan kriteria dari taqlid sebagaimana disebutkan di atas dan dihubungkan pula dengan ijtihad dan mujtahid yang telah dijelaskan sebelum ini, maka terlihat ada tiga lapis umat Islam sehubungan dengan pelaksanaan hukum Islam atau shara', yaitu:...................
1. Mujtahid ( المجتهد ), yaitu orang yang mempunyai pendapat yang dihasil¬kan melalui ijtihadnya sendiri, beramal dengan hasil ijtihadnya dan tidak mengikuti hasil ijtihad lainnya. Ini yang disebut mujtahid mutlaq.............................................
2. Muqallid. ( المقلد ), yaitu orang yang tidak mampu menghasilkan pendapatnya sendiri, karena itu ia mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui kekuatan dan dalil dari pendapat yang diikutinya itu................................................................
3. Muttabi' ( المتبع ), yaitu orang yang mampu menghasilkan pendapat, namun dengan cara mengikuti pendapat dan cara-cara yang telah dirintis oleh ulama sebelumnya.
2.2 Ketentuan dan Syarat Bertaqlid.......................................................................
[2]Dalam kebanyakan literatur ushul fiqh, persoalan ini diuraikan dalam pembahasan tentang kepada siapa seseorang boleh minta fatwa, karena hubungan antara bertaqlid dengan minta fatwa itu rapat sekali. Tujuan minta fatwa itu adalah untuk mengamalkan apa yang difatwakan itu. Ibn al-Humman menunjukkan kesepakaatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seseorang dari kalangan ahli ilmu yang diketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah. (Pengertian ‘adalah atau ‘adil di sini mengandung maksud khusus, yaitu ‘adil dalam pengertian periwayatan hadits, bukan dalam pengertian peradilan, yaitu seseorang yang memiliki kriteria (sifat) sebagai berikut:.............................................
[2]Dalam kebanyakan literatur ushul fiqh, persoalan ini diuraikan dalam pembahasan tentang kepada siapa seseorang boleh minta fatwa, karena hubungan antara bertaqlid dengan minta fatwa itu rapat sekali. Tujuan minta fatwa itu adalah untuk mengamalkan apa yang difatwakan itu. Ibn al-Humman menunjukkan kesepakaatan ulama tentang bolehnya bertaqlid kepada seseorang dari kalangan ahli ilmu yang diketahuinya bahwa orang itu mempunyai kemampuan untuk berijtihad dan memiliki sifat ‘adalah. (Pengertian ‘adalah atau ‘adil di sini mengandung maksud khusus, yaitu ‘adil dalam pengertian periwayatan hadits, bukan dalam pengertian peradilan, yaitu seseorang yang memiliki kriteria (sifat) sebagai berikut:.............................................
1. Tidak pernah melakukan dosa besar,,,,,,,,,,,,,,,,,,
2. Tidak sering melakukan dosa kecil,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
3. Selalu menjaga muru’ah atau harga diri.................................................................
Pengetahuannya akan kemampuan seseorang untuk berijtihad, memiliki
sifat adil tersebut diperoleh melalui kepopuleran orang itu atau dari berita
tentang dirinya atau diketahui melalui kedudukannya dan orang-orang sering
minta fatwa kepada nya serta
menghormati kedudukannya...........................................................
Menurut kalangan ulama Syafi’iyah bahwa pendapat yang sah (paling
tepat) adalah harus memeriksa tentang keilmuannya dengan cara bertanya kepada
orang-orang, dan untuk mengetahui keadilannya cukup dari keadilan menurut
lahirnya tanpa perlu memeriksanya. Pendapat lainnya mengatakan bahwa untuk
mengetahui keilmuan seorang mufti cukup dari berita yang telah tersebar luas
mengenai kapasitas kemampuan ilmunya. Adapun untuk mengetahui keadilannya perlu
dilakukan melalui suatu pembahasan tersendiri. Di antara ulama ada yang yang
mensyaratkan untuk menguji seseorang setelah minta fatwa kepadanya.
Namun hal ini ditolak oleh Imam Haramain yang mengatakan bahwa
tidak ada ketentuan yang demikian, bahkan bila telah ada yang mengatakan
(memberitakan) bahwa ia seorang mujtahid, maka harus dipegang dan diikuti.
Untuk mengetahui keilmuannya cukup dengan berita tersebut. Bila dua persyaratan
tersebut (berilmu dan adil) tidak terdapat pada seseorang, maka tidak boleh
bertaqlid kepadanya. Para ulama sepakat bahwa bila diduga kuat ia tidak
memiliki satu diantara keduanya, maka orang awam tidak boleh bertanya atau
bertaqlid kepadanya. Pendapat lainnya mengatakan bila yang tidak diketahui dari
orang itu adalah tentang keilmuannya, maka tidak boleh minta fatwa dan
bertaqlid kepadanya. Bila dalam satu wilayah hanya ada seorang mujtahid yang
memenuhi persyaratan tersebut, maka pendapatnya harus diikuti, karena memang
tidak ada alternatif (pilihan) lain. Kalau di satu wilayah ada beberapa orang
dalam derajat yang sama, maka boleh memilih salah satu diantaranya untuk
diikuti..
Bila dalam satu wilayah terdapat beberapa orang mujtahid untuk
diikuti dan berbeda tingkat keilmuannya (dalam arti ada yang lebih baik atau
fadil dan ada yang tanpa kelebihan atau mafdul), mana yang harus diikuti
pendapatnya oleh seseorang awam. Bolehkah mengikuti yang mafdul selagi ada yang
fadil? dalam ini terdapat perbedaan pendapat.................................................................................
1. Kalangan ulama yang terdiri dari kebanyakan ulama Hanabilah seperti al-Qadhi, Abu al-Khattab dan Ibn al-Hajib berpendapat boleh mengikuti mufti dalam kualitas yang mafdul meskipun di samping itu ada yang berkualitas fadil. Alasannya, bahwa mengikuti yang mafdul di samping ada yang fadil itu diketahui orang banyak dan tidak ada yang menyanggahnya. Maka dalam hal ini kedudukannya sama dengan ijma’sukuti............
1. Kalangan ulama yang terdiri dari kebanyakan ulama Hanabilah seperti al-Qadhi, Abu al-Khattab dan Ibn al-Hajib berpendapat boleh mengikuti mufti dalam kualitas yang mafdul meskipun di samping itu ada yang berkualitas fadil. Alasannya, bahwa mengikuti yang mafdul di samping ada yang fadil itu diketahui orang banyak dan tidak ada yang menyanggahnya. Maka dalam hal ini kedudukannya sama dengan ijma’sukuti............
2. Kalangan ulama yang terdiri dari ulama Hanafiyah, Malikiyah,
kebanyakan ulama Syafi'iyah, Ahmad dan al-Ghazali menyatakan bahwa harus
memilih yang fad{il dan tidak boleh mengikuti yang mafdul. Alasannya adalah
sebagaimana yang dikemukakan oleh al¬Mahalli yaitu bahwa pendapat seorang
mujtahid dalam hubungannya dengan muqallid yang akan mengikutinya adalah ibarat
beberapa dalil shara’ yang berbeda dalam hubungannya dengan mujtahid. Dalam
keadaan demikian, mujtahid harus mengambil dalil yang terkuat di antara
beberapa dalil tersebut. Demikian juga, seorang awam harus mengambil yang
terkuat dari pendapat beberapa orang mufti atau mujtahid (dalam hal ini adalah
yang fadil).
3. Pendapat yang dianggap pilihan oleh Ibnu Subki adalah bolehnya
orang awam mengikuti pendapat orang yang diyakininya fadil, meskipun menurut kenyataannya
bahwa orang itu adalah mafdul. Tetapi bila ia telah meyakini kemafdulannya,
maka tidak boleh ia mengikutinya lagi. Pendapat ini merupakan kombinasi dari
dua pendapat sebelumnya.Namun dalam hal ini tidak ada kewajiban untuk membahas
mana yang terkuat, karena dengan pembahasan itu tidak akan dapat diketahui
secara jelas oleh orang-orang yang akan mengikutinya atau meminta fatwa.
Adapun syarat ber-taqlid dapat dibagi menjadi dua yaitu :
a)
Syarat
pada orang yang bertaqlid
Syarat bagi orang boleh bertaqlid
ialah orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara untuk mencari dan
mempelajari hukum syariat. Maka, ia dibolehkan mengikut pendapat orang yang
lebih pandai dan alim dalam soal hukum syariat serta mengamalkannya. .(A.
Hanafie 1965: 160)
Adapun orang yang pandai dan sanggup
mencari sendiri hukum-hukum syariat, maka adalah harus berijtihad sendiri bila
waktunya masih cukup. Tetapi apabila waktu untuk berijtihad sudah sempit dan
dikhuatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan hal yang lain seperti
dalam soal-soal ibadat. Maka dalam hal demikian menurut suatu pendapat
dibolehkan mengikut pendapat orang lain yang lebih arif atau lebih pandai
berkaitan sesuatu hukum syariat
b)
Syarat
pada perkara-perkara yang diikuti
Syarat-syarat
pada perkara yang diikuti terbahagi dua iaitu:
a) Hukum
akal
b) Hukum
syarak
2.3.
Pengertian Mazhab
Kata mazhab ((مذحب adalah isim makan (kata yang
menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhi (kata dasar) dzahaba
( (ذهبyang berarti
“pergi”. Dapat juga berarti al-ra’yu ( (الرأيyang
artinya “pendapat”. Adapun, pengertian mazhab dalam istilah fiqh atau
ilmu fiqh setidaknya meliputi dua pengertian, yaitu:
a.
Jalan
pikiran atau metode (manhaj) yang digunakan seorang mujtahid dalam
menetapkan hukum suatu kejadian.
b.
Pendapat
atau fatwa seorang mujtahid atau mufti tentang hukum suatu kejadian.
Pembahasan tentang mazhab
merupakan kelanjutan dari pembahasan tentang taqlid. Dalam pembahasan taqlid
disebutkan bahwa peringkat lapisan umat Islam dalam hubungannya dengan
hukum syara’ dan pengamalannya terbagi kepada dua kelompok, yaitu:
1.
Orang
yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum syara’. Untuk mengetahui dan
mengamalkan hukum syara’, ia disuruh bertanya kepada orang yang
mengetahui. Dari segi ketidaktahuannya itu ia disebut awam ((عوام
dan dari segi bertanya kepada orang alim, ia disebut mustafti ((مستفتي
atau muqallid ((مقلد.
2.
Orang
yang mempunyai pengetahuan tentang hukum syara’ dan mempunyai kemampuan
untuk menggali dari sumbernya. Karena itu, maka ia menjadi tempat bertanya bagi
orang awam. Sebagai orang yang tahu, ia disebut mujtahid, dan dalam
kedudukannya sebagai orang yang memberi jawaban atas pertanyaan orang awam, ia
disebut mufti ((مفتي.
Seperti telah dijelaskan bahwa dalam etika ber-taqlid sebagian
ulama, orang awam yang muqallid setelah memperoleh jawaban hukum dari
seorang mufti harus beramal dengan pendapat atau fatwa dari mufti itu. Fatwa
atau pendapat yang dirumuskan oleh seorang mujtahid itulah yang pada mulanya
disebut dengan mazhab yang berasal dari ungkapan yang pengertiannya berarti:
“pendapat yang dipegang oeh imam mujahid”. Kalau orang awam mengikuti
pendapat seoarang imam mujahid dalam beramal, ia disebut “pengikut mazhab imam
mujahid”. Dalam pengertian “mazhab” yang sederhana ini seseorang awam yang
tidak memiliki pendapat yang dihasilkan melalui ijtihadnya dan oleh karena itu
mengikuti dan beramal dengan hasil ijtihad seseorang mufti, dapat disebut
“bermazhab” dengan mazhab mufti yang diikutinya itu.Karena, secara praktis umat
Islam sudah terkotak-kotak dalam mazhab tertentu, maka pengertian mazhab
berkembang menjadi “kelompok orang yang sama-sama bermazhab dengan mazhab
tertentu”.
2.4 Syarat kemunculan Mazhab dan syarat bagi Mufti
Menurut pendapat
beberapa ulama tentang syarat kemunculan mazhab, yaitu:
a)
الامام الغزالي
Imam ghozali dalam
mensyaratkan terhadap seorang mujtahid ada dua syarat,
diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Seorang
mujtahid harus mengetahui tentang hukum-hukum syara’, tidak hanya itu, seorang
mujtahid juga di tuntut untuk mendahulukan sesuatu yang wajib di dahulukan dan
mengakhirkan sesuatu yang wajib di akhirkan.
2. Seorang
mujtahid harus adil dan juga harus menjauhi perbutan ma’siat yang bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk menjadi pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau
seorang mujtahid tidak ‘adil maka hasil ijtihadnya tidak syah atau tidak boleh
untuk di jadikan sebuah pegangan oleh orang awam.
b) الامام الشا
طبي
Menurut imam as-syatiby
seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid harus bisa memenuhi dua syarat di
bawah ini:
1.
Bisa
memahami tujuan syariat secara sempurna,
2.
Bisa
menggali suatu hukum atas dasar pemahaman seorang mujtahid.
c) الامام
الامدي والبيضوي
Menurut imam
ini seorang mujtahid harus memenuhi beberapa syarat di antaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Seorang
mujtahid harus mukallaf, iman kepada allah SWT dan rosululloh SAW.
2.
Seorang
mujtahid harus bisa memahami dan mengerti tentang hukum syariat islam serta
dalil yang menunjukan pada keabsahan hukum syariat tersebut.
Adapun syarat bagi seorang Mufti, yaitu:
Seorang mufti (pemberi Fatwa) tentulah orang yang mempunyai wawasan
keilmuan yang luas, agar yang difatwakannya tentang suatu masalah hukum sesuai
dengan yang sebenarnya. Abu Ishaq Ibrahim 3 menguraikan secara detail tentang
syarat-syarat seorang mufti, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Harus Mengetahui sumber hukum, yaitu al-Qur‟an dan sunah, baik
qauliyah, fi’liyah dan taqririyah;
2. Mengetahui cara mengambil hukum dari keduanya;
3. Mengetahui kaidah-kaidah ushul
fiqh;
4. Mengetahui bahasa Arab dan tata bahasa Arab;
5. Mengetahui Nasakh, Mansukh, dan hukum-hukumnya;
6. Mengetahui Ijma’ dan khilafiah ulama terdahulu;
7. Mengetahui cara meg-Qiyas dan
hukum-hukumnya;
8. Mengetahu Ijtihad;
9. Mengetahui cara mengambil ‘illat dan urutan dalil-dalil;
10. Mengetahui cara men-Tajrih;
11. Harus orang yang dipercaya dan jujur; dan
12. Orang yang tidak menganggap enteng dalam soal agama.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari pemaparan diatasa,maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Taqlid dalam pengertian seperti tersebut dalam pembahasan, tegasnya mengikuti pendapat orang lain dengan tanpa alasan yang pasti tidak dibolehkan bagi orang yang secara obyektif sanggup untuk berijtihad. Jadi taqlid itu hanya dibolehkan bagi orang yang tidak punya kemampuan untuk berijtihad, yakni orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum shari'at. Ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari hukum-hukum syari'at, maka harus berijtihad sendiri. Secara garis besar ulama ushul fiqh membagi hukum syara' dalam masalah taqlid menjadi dua : 1. Taqlid dalam masalah akidah, yaitu yang berkaitan dengan masalah mengetahui Allah SWT dengan segala sifatnya dan masalah tauhid, kenabian serta seluruh yang harus diketahui oleh mukallaf.......................................
Taqlid dalam pengertian seperti tersebut dalam pembahasan, tegasnya mengikuti pendapat orang lain dengan tanpa alasan yang pasti tidak dibolehkan bagi orang yang secara obyektif sanggup untuk berijtihad. Jadi taqlid itu hanya dibolehkan bagi orang yang tidak punya kemampuan untuk berijtihad, yakni orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum shari'at. Ia boleh mengikuti pendapat orang pandai dan mengamalkannya. Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari hukum-hukum syari'at, maka harus berijtihad sendiri. Secara garis besar ulama ushul fiqh membagi hukum syara' dalam masalah taqlid menjadi dua : 1. Taqlid dalam masalah akidah, yaitu yang berkaitan dengan masalah mengetahui Allah SWT dengan segala sifatnya dan masalah tauhid, kenabian serta seluruh yang harus diketahui oleh mukallaf.......................................
2. Taqlid dalam masalah amalan praktis (al-furu'), yaitu hukum-hukum
yang berkaitan dengan amalan praktis yang ditetapkan berdasarkan dalil zanni (relatif
benar). Dalam permasalahan ini terdapat perbedaan pendapat para ulama ushul
fiqh tentang boleh tidaknya taqlid.
DAFTAR PUSTAKA
·
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul fiqh 2. Jakarta: Kencana.
·
HafizFirdaus.Pedomanmazhab.http://hafizfirdaus.com/ebook/Pedoman Mazhab /Chap11.php [29 Mac 2009].
No comments:
Post a Comment