Thursday, January 15, 2015

HADITS AKHLAK LINGKUNGAN


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Kita diajarkan doa munajat yang berbunyi : رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً  “Ya Tuhan kami, tak satupun makhluk ciptaan-Mu ini yang tak berguna (Q/3:191). Ayat ini mengandung arti bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan konsep yang sangat sempurna. Suatu makhluk meski sekecil bakteri pun, telah di desain oleh Sang Pencipta sebagai bagian dari ekosistem alam. Sebagaimana yang telah disebutkan di depan bahwa dalam sistem alam ini, manusia diberi predikat oleh Allah sebagai khalifah-Nya dimana manusia diberi wewenang dan tanggung jawab mengelola alam ini bagi kehidupannya.

 Setiap kewenangan tanggung jawab, pastilah di dalamnya terkandung hak dan kewajiban. Oleh karena itu amanah Tuhan kepada manusia sebagai khalifah-Nya ialah bahwa manusia dibebani kewajiban, dan bersamaan dengan itu manusia diberi hak, termasuk hak pemanfaatan alam. Dalam alQur’an, jelas sekali disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi ini untuk manusia(Q.S. Al-Baqoroh :29)

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Manusia diberi hak untuk mengelola alam ini, mengkonsumsi yang dibutuhkan, tetapi di tangan manusia pula diletakan tanggung jawab pemeliharaan kelestarian alam. Oleh karena tu manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam, karena akan berdampak merusak ekosistem yang pada gilirannya akan menyulitkan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam perspektif ilmu akhlak, maka manusia pun harus berakhlak kepada alam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Pengertian Akhlak

Menurut bahasa (etimologi) perkataan akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq (khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Khuluq merupakan gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia, seperti raut wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani kata khuluq ini disampaikan dengan kata ethicosatauethos artinya adab kebiasaan, perasaan batin kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicoskemudian berubah menjadi etika.

      B. Akhlak Kepada Alam

Alam ialah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi beserta isinya, selain Allah. Allah melalui alquran mewajibkan kepada manusia untuk mengenal alam semesta beserta isinya.

Manusia sebagai khalifah diberi kemampuan oleh Allah untuk mengelola bumi dan mengelola alam semesta ini. Manusia diturunkan ke bumi untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh karena itu, manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam sekitarnya, yakni melestarikannya dengan baik.4 Ada kewajiban manusia untuk berakhlak kepada alam sekitarnya. Ini didasarkan kepada hal-hal sebagi berikut :

1.    bahwa manusia hidup dan mati berada di alam, yaitu bumi

2.    bahwa alam merupakan salah satu hal pokok yang dibicarakan oleh Al-quran

3.    bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk menjaga pelestarian alam yang bersifat umum dan yang khusus

4.    bahwa Allah memerintahkan kepada manusia untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari alam, agar kehidupannya menjadi makmur

5.    manusia berkewajiban mewujudkan kemakmuran dan kebahagiaan di muka bumi.5

Manusia wajib bertanggung jawab terhadap kelestarian alam atau kerusaakannya, karena sangat memengaruhi kehidupan manusia. Alam yang masih lestari pasti dapat memberi hidup dan kemakmuran bagi manusia di bumi. Tetapi apabila alam sudah rusak maka kehidupan manusia menjadi sulit, rezeki sempit dan dapat membawa kepada kesengsaraan. Pelestarian alam ini waajib dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, bangsa dan negara.6

Manusia hidup bergantung pada alam sekitar. Mula-mula mereka hidup secara berpindah-pindah (nomaden) mencari tempat-tempat yang menyediakan hidup dan makan. Mereka lalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain setelah bahan makanan habis dan tidak didapat. Namun seiring dengan kemajuan kehidupan manusia, bukan berarti ketergantungan dan kebutuhannya terhadap alam semakin berkurang. Mereka tetap membutuhkan alam sekitarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, manusia harus menjaga keharmonisan hubungannya dengan alam dan makhluk di sekitarnya, yaitu dengan cara berakhlak yang baik kepadanya.Dalam ajaran Islam, akhlak kepada alam seisinya dikaitkan dengan tugas manusia sebagi khalifah di muka bumi. Allah berfirman :

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al Baqarah[2] : 30).

 

Akhlak manusia terhadap alam bukan hanya semata-mata untuk kepentingan alam, tetapi jauh dari itu untuk memelihara, melestarikan dan memakmurkan alam ini. Dengan memenuhi kebutuhannya sehingga kemakmuran, kesejahteraan, dan keharmonisan hidup dapat terjaga.

C. Macam – Macam Akhlak Terhadap Lingkungan Alam

1.    Kewajiban Menanam Tanaman dan Larangan Memusnahkannya

            Nabi Muhammad SAW mengimbau kepada umat Islam agar senang menanan tanaman atau pohon untuk berbagai kepentingan: baik untuk kepentingan konsumsi (pangan), kepentingan penanggulangan lahan kritis ( إحيأ الموات ), maupun untuk kepentingan lainnya. Di dalam sebuah hadits diterangkan

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ (رواه اليخاري و مسلم والترمذي)

Artinya :                                                    

Rasulullah SAW bersabda, tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman atau menanam (menabur) benih tanaman, kemudian burung ataupun binatang ternak memakan (buah) tanaman itu, kecuali baginya memperoleh pahala sedekah (H.R. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dari Anas).

Berkenaan dengan kewajiban menanam ini, kiranya perlu dikemukakan sebuah hadis yang selama ini banyak disebut, yaitu bahwa kewajiban menanam itu bukan hanya anjuran, tetapi tuntutan, yang memfaedahkan hukum wajib. Nabi SAW bersabda :

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ (رواه احمد)

Artinya : Rasulullah SAW bersabda, sekiranya kiamat datang, sedang di tanganmu ada anak pohon kurma, maka jika dapat (terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu sehingga selesai menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam itu) (H. R. Ahmad, dari Anas bin Malik).

Hadis tersebut memberi petunjuk, bahwa sekiranya akan terjadi kiamat, dan masih sempat menanam tanaman, maka Nabi menyuruh agar tanaman itu segera ditanam. Ini menunjukkan betapa pentingnya kegiatan tanam menanam pepohonan atau tetumbuhan. Dalam hubungan ini menarik untuk dikemukakan komentar Muhammad Quthb terhadap hadis ini, seperti yang dikutip Zainal Abidin Ahmad, bahwa sangatlah mengesankan perintah menanam bibit kurma yang umurnya memakan waktu tahunan, padahal kiamat sudah berada di ambang pintu. Dikatakannya : Ya Tuhan ! Harus ditanamkannya? Dan apakah yang mesti ditanam itu? Bibit kurma yang baru menghasilkan buah setelah bertahun lamanya, padahal kehancuran dunia (kiamat) sudah pasti dengan yakin akan terjadi. Ya Allah ! Hanya Nabi Islam, penutup dari segala Nabi, yang akan berhak mengatakan ini. Islam satu-satunya agama yang mungkin menggerakkan hati manusia untuk berbuat ini, dan hanyalah Nabi Islam satu-satunya yang mungkin membawa petunjuk demikian dan akan memimpin manusia lainnya. Inilah sejarah dunia seluruhnya. Tiada contoh bandingan inti ajaran sebagai ajaran Rasulullah SAW ini.

Adapun larangan menebang/menghanguskan tanaman atau pepohonan dapat terlihat dari kisah di mana diriwayatkan bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah, mengirim pasukan keSyam, dia berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan (sedapat mungkin) tidak memotong atau menebang pohon di daerah peperangan itu.  Riwayat tentang pesan/wasiat Khalifah Abu Bakar tersebut telah dikemukakan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwaththa’sebagai berikut :

وَإِنِّي مُوصِيكَ بِعَشْرٍ لَا تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلَا صَبِيًّا وَلَا كَبِيرًا هَرِمًا وَلَا تَقْطَعَنَّ شَجَرًا مُثْمِرًا وَلَا تُخَرِّبَنَّ عَامِرًا وَلَا تَعْقِرَنَّ شَاةً وَلَا بَعِيرًا إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ وَلَا تَحْرِقَنَّ نَحْلًا وَلَا تُغَرِّقَنَّهُ وَلَا تَغْلُلْ وَلَا تَجْبُنْ (رواه ماللك)

Artinya : Saya berwasiat kepada anda sepuluh macam : 1) Janganlah membunuh perempuan; 2) Janganlah membunuh anak-anak; 3) Janganlah membunuh orang-orang yang sudah tua; 4) Janganlah memotong pohon yang sedang berbuah; 5) Janganlah meruntuhkan bangunan; 6) Janganlah memotong domba; 7) Janganlah memotong unta, kecuali bila domba dan unta itu untuk dimakan; 8) Janganlah membakar pohon kurma dan jangan pula menenggelamkannya(memusnahkannya); 9) Janganlah berlaku khianat; dan 10) Janganlah menakut-nakuti (rakyat) (H. R. Malik, dari Yahya bin Sa’id).

2.        Larangan Boros

            Pemborosan harus dicegah walaupun berada dalam kebaikan. Prinsip ini didasarkan pada ayat 26-27 surat al-Isra’ :

Terjemahnya:                                        

“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(Q.S. al-Isra’, 17 : 26-27).

Dan pada hadis Nabi SAW, bahwa : “Paling banyak membasuh anggota wudhu’ masing-masing adalah tiga kali, meskipun anda berwudhu’ di sungai yang mengalir.”

Hadis tersebut berbunyi (artinya):

Dari Abu Na’amah namanya Qayis bin Abayah, bahwa Abdullah bin Mughaffal (berkata) …, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya di antara umat ini akan ada suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a (H. R. Abu Daud).

3.      Kerusakan Lingkungan Tanggungjawab Manusia

Kerusakan lingkungan hidup adalah akibat perbuatan manusia, dan oleh karena itu ia (manusia) harus bertanggungjawab di dunia dan di akhirat. Prinsip ini didasarkan pada Q.S. al-Rum, 30 : 41.ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya:Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.S. al-Rum, 30 : 41).

Dari ayat ini dapat difahami, bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi di muka bumi ini, baik dalam bentuk kerugian karena perbuatan manusia, ataupun bencana yang menimpa manusia adalah karena perbuatan manusia sendiri. Musibah yang menimpa manusia pada hakekatnya adalah natijah dari perbuatannya sendiri. Ini sesuai dengan hukum kausal. Karena manusia merusak lingkungannya sendiri, maka timbullah berbagai kesulitan hidup dan malapetaka.

Jadi, sebagai konsekuensi dari perbuatan melakukan kerusakan itu, manusia harus bertanggungjawab. Tanggungjawab di dunia berupa : a) kembali sadar dan tidak mengulangi perbuatannya yang merugikan lingkungan itu, seperti yang diisyaratkan oleh ayat; b) memperbaiki lingkungan yang telah dirusaknya, sehingga dapat berfungsi kembali sesuai tujuan penciptaannya; dan c) membayar ganti rugi, sekiranya perbuatannya itu merugikan negara atau masyarakat. Sedangkan tanggungjawab akhirat, berupa sanksi yaitu dosa dan neraka. Jadi, seorang yang merusak lingkungan, harus diberi sanksi, baik sanksi negara maupun sanksi agama.

4.      Perikemakhlukan

Pada dasarnya peri-kemakhlukan bermakna menghargai seluruh makhluk (biotik dan abiotik), menempatkannya pada posisi terhormat (muhtaram), dan memperlakukannya sesuai dengan kehendak Tuhan. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah:

Terjemahnya:

Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami lupakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.

Dalam ayat ini binatang dan burung disebut oleh Tuhan sebagai umat-umat sepeti manusia (juga). Hal ini didukung oleh beberapa hadis di mana Rasulullah SAW menyebut binatang, antara lain semut dan anjing, juga sebagai umat. Nabi bersabda:

Terjemahnya :

“Dari Abu Huraerah, dari Nabi SAW : Sesungguhnya pernah seekor semut menggigit salah seorang Nabi. Nabi tersebut lalu menyuruh untuk mendatangi sarang semut dan dibakarnya. Tetapi kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya : “Apakah hanya gara-gara seekor semut menggigitmu lantas kamu akan membinasakan suatu umat yang selalu bertasbih?” (H.R. Muslim).

Hadis ini menunjukkan bahwa semut itu juga adalah salah satu umat yang selalu bertasbih (kepada Tuhan), dan karenanya terlarang membinasakannya. Adapun tentang anjing, Nabi SAW dalam salah satu hadisnya bersabda

Terjemahnya :

“Dari Abdullah ibnMughaffal telah berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda : Seandainya anjing-anjing bukan ummat dari ummat-ummat (Tuhan), niscaya saya perintahkan untuk dibunuh” (H.R. Tirmidzi).

Dalam bentuk aplikatif, prinsip perikemakhlukan ini tercermin dalam sunnah Nabi SAW. Mengenai kasih sayang kepada binatang, Nabi SAW menjelaskan dalam hadisnya, bahwa wanita yang mengikat kucingnya kemudian tidak memberi makanan kepada binatang itu akan masuk neraka kelak di akhirat. Tetapi sebaliknya, orang yang memberi minum kepada anjing yang akan mati karena kehausan, diampuni dosanya oleh Tuhan. Nabi SAW bersabda:

Terjemahnya :

“Dari Abdullah (Ibnu Umar r.a.), bahwa Nabi SAW telah bersabda, seorang perempuan disiksa karena seekor kucing yang ditawannya sehingga kucing itu mati, maka perempuan itu masuk neraka; karena perempuan itu tidak memberinya makan dan minum, dan tidak pula membiarkannya memakan serangga di muka bumi” (H. R. Muslim).

Adapun mengenai tumbuh-tumbuhan, Nabi melarang menebang pohon yang akan berbuah. Kepada tentara yang mau berperang Nabi mengeluarkan perintah : jangan rusak pohon korma, jangan cabut pepohonan, dan jangan runtuhkan rumah.

Diriwayatkan bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah, mengirim pasukan ke Syam, dia berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan (sedapat mungkin) tidak memotong atau menebang pohon di daerah peperangan itu.

Dari pesan tersebut dapat difahami, bahwa dalam keadaan perang pun sedapat mungkin dihindari pembabatan pohon-pohon, terutama yang sedang berbuah, karena pohon-pohon tersebut sangat bermanfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Dalam kerangka ini pulalah, buah yang belum mencapai kematangannya, dianjurkan untuk tidak dipetik, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk itu untuk mencapai tujuan penciptaannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa memelihara dan membangun lingkungan di permukaan bumi ini adalah ajaran dasar yang sangat penting dalam Islam. Ajaran ini berasal dari konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda tidak bernyawa lainnya, semuanya adalah makhluk Tuhan. Oleh karena itu semuanya memiliki posisi terhormat, dan karenanya harus disayangi, dicintai, dan diperlakukan sesuai dengan aturan-aturan Tuhan. Inilah makna dari prinsip perikemakhlukan itu.

5.    Menghidupkan Lahan Mati

Lahan mati berarti tanah yang tidak bertuan, tidak berair, tidak di isi bangunan dan tidak dimanfaatkan. Allah swt, telah menjelaskan dalam QS. Yasin (36):

وَءَايَةٌ لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ

Terjemahnya :

Dan suatu tanah (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati, Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka dari padanya mereka makan”.

Kematian sebuah tanah akan terjadi kalau tanah itu ditinggalkan dan tidak ditanami, tidak ada bangunan serta peradaban, kecuali kalau kemudian tumbuh didalamnya pepohonan. Tanah dikategorikan hidup apabila di dalamnya terdapat air dan pemukiman sebagai tempat tinggal.

Menghidupkan lahan mati adalah ungkapan dalam khazanah keilmuan yang diambil dari pernyataan Nabi saw, dalam bagian matanhadis, yakni :

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ(رواه الترمذى عن جابر بن عبد الله)

(Barang siapa yang menghidupkan tanah (lahan) mati maka ia menjadi miliknya).

Dalam hadis ini Nabi saw, menegaskan bahwa status kepemilikan bagi tanah yang kosong adalah bagi mereka yang menghidupkannya, sebagai motivasi dan anjuran bagi mereka yang menghidupkannya. Menghidupkan lahan mati, usaha ini dikategorikan sebagai suatu keutamaan yang dianjurkan Islam, serta dijanjikan bagi yang mengupayakannya pahala yang amat besar, karena usaha ini adalah dikategorikan sebagai usaha pengembangan pertanian dan menambah sumber-sumber produksi. Sedangkan bagi siapa saja yang berusaha untuk merusak usaha seperti ini dengan cara menebang pohon akan dicelupkan kepalanya ke dalam neraka. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw sebagaimana dalam bagian matan hadis, yakni ;

مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ رَأْسَهُ فِي النَّارِ

(Barang siapa yang menebang pepohonan, maka Allah akan mencelupkannya ke dalam neraka).

Maksud hadis di atas, dijelaskan kemudian oleh Abu Daud setelah meriwayatkan hadis tersebut, yaitu kepada orang yang memotong pepohonan secara sia-sia sepanjang jalan, tempat para musafir dan hewan berteduh. Ancaman keras tersebut secara eksplisit merupakan ikhtiar untuk menjaga kelestarian pohon, karena keberadaan pepohonan tersebut banyak memberi manfaat bagi lingkungan sekitar. Kecuali, jika penebangan itu dilakukan dengan pertimbangan cermat atau menanam pepohonan baru dan menyiram-nya agar bisa menggantikan fungsi pohon yang ditebang itu.

6.      Kewajiban Memelihara dan Melindungi Hewan

Salah satu hadis yang menganjurkan berbuat baik dengan memelihara dan melindungi binatang dengan cara :

(a) memberikan makanannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw ;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ … وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Artinya :                                                                            

Dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah saw bersabda : ….“Orang yang menunggangi dan meminum (susunya) wajib memberinya makanan”. (HR. Bukhari)

(b) menolongnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم أَنَّ النَّبِيَّ e قَالَ بَيْنَا رَجُلٌ بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِالْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَا خُفَّهُ مَاءً فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّه وَإِنَّ لَنَافِي الْبَهَائِمِ لَأَجْرًا فَقَالَ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

Artinya :Dari Abu Hurairah, berkata; Rasulullah saw bersabda : “suatu ketika seorang laki-laki tengah berjalan di suatu jalanan, tiba-tiba terasa olehnya kehausan yang amat sangat, maka turunlah ia ke dalam suatu sumur lalu minum. Sesudah itu ia keluar dari sumur tiba-tiba ia melihat seekor anjing yang dalam keadaan haus pula sedang menjilat tanah, ketika itu orang tersebut berkata kepada dirinya, demi Allah, anjing initelah menderita seperti apa yang ia alami. Kemudian ia pun turun ke dalam sumur kemudian mengisikan air ke dalam sepatunya, sepatu itu digigitnya. Setelah ia naik ke atas, ia pun segera memberi minum kepada anjing yang tengah dalam kehausan itu. Lantaran demikian, Tuhan mensyukuri dan mengampuni dosanya. Setelah Nabi saw, menjelaskan hal ini, para sahabat bertanya: “ya Rasulullah, apakah kami memperoleh pahala dalam memberikan makanandan minuman kepada hewan-hewan kami ?”. Nabi menjawab : “tiap-tiap manfaat yang diberikan kepada hewan hidup, Tuhan memberi pahala”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas memberikan ketegasan betapa Islam sangat peduli akan keselamatan dan perlindungan hewan. Bahkan disebutkan, bahwa bagi yang menolong hewan sekaligus memperoleh tiga imbalan, yaitu : (1) Allah berterima kasih kepadanya; (2) Allah mengampuni dosa-dosanya; dan (3) Allah memberikan imbalan pahala kepadanya Di samping sebagai Pencipta, Allah adalah penguasa terhadap seluruh makhluk-Nya, termasuk binatang. Dia lah yang memberi rezeki, dan Dia mengetahui tempat berdiam dan tempat penyimpanan makanann

BAB III

PENUTUP

          A.Kesimpulan

Ajaran Islam yang paling mendasar adalah keluhuran akhlak. Sifat ini banyak menentukan karakter seseorang, khususnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Seseorang yang berakhlak rendah, ia dibenci dan di asingkan dari masyaraakat. Sebaliknya, ia dihargai, disegani, bahkan menjadi panutan dalam masyarakat.

Keberadaan dan kehancuran suatu umat ditentukan oleh akhlak itu sendiri. Selama masih berakhlak mulia, berarti umat manusia utuh dan jika akhlak mulai lenyap itulah pertanda hancurnya umat.

Akhlak kepada Allah merupakan perwujudan dari keimanan kita yang kita tujukkan dengan ibadah kita. Akhlak kepada sesama manusia berarti kita harus berbuat baik kepada sesama manusia tanpa memandang kepada siapa orang tersebut, sehingga kita mampu hidup dalam masyarakat yang aman dan tenteram. Akhlak kepada alam merupakan bentuk tanggung jawab dan rasa syukur kita kepada Allah dengan segala sesuatu yang Ia berikan, selain itu karena Allah telah menjadikan kita sebagai khalifah di muka bumi ini maka kita harus menjaga, melestarikan dan memanfaatkan segala yang ada di alam ini tanpa berlebih-lebihan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar pustaka

v  Mustofa, A, 1997. Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia.

v  Abdullah, M. Yatimin, 2007, Study Akhlak Tasawuf Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Amzah

v  Zaini, Syahminan, 1996, Isi Pokok Ajaran Al-Qur’an, Jakarta : Kalam Mulia,

v  Muhammad, Ibnu Al-Walid,Abdullah, 1990, Al-AhaditsAl-Mukhtaroh, Makkah Al-mukarromah : MaktabahAn-nahdhiyahAl-Haditsah

v  Bin Al-Husain bin Ali, Ahmad, 1994, Sunan Al-BaihaqiAl-Qubro, Makkah Al-Mukarromah : Maktabah Dar Al-Baz

v  Shahih Muslim, Juz IV, h., 1759.

v  Sunan al-Tirmidzi, Juz IV, h. 78.

v  Shahih Muslim, Juz IV, h. 1760.

v  ShahihBukhori, juz II, Hal 817



 

No comments:

Post a Comment