BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kita
diajarkan doa munajat yang berbunyi : رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً “Ya
Tuhan kami, tak satupun makhluk ciptaan-Mu ini yang tak berguna (Q/3:191). Ayat
ini mengandung arti bahwa Tuhan menciptakan alam ini dengan konsep yang sangat
sempurna. Suatu makhluk meski sekecil bakteri pun, telah di desain oleh Sang
Pencipta sebagai bagian dari ekosistem alam. Sebagaimana yang telah disebutkan
di depan bahwa dalam sistem alam ini, manusia diberi predikat oleh Allah
sebagai khalifah-Nya dimana manusia diberi wewenang dan tanggung jawab
mengelola alam ini bagi kehidupannya.
Setiap kewenangan tanggung
jawab, pastilah di dalamnya terkandung hak dan kewajiban. Oleh karena itu
amanah Tuhan kepada manusia sebagai khalifah-Nya ialah bahwa manusia dibebani
kewajiban, dan bersamaan dengan itu manusia diberi hak, termasuk hak
pemanfaatan alam. Dalam alQur’an, jelas sekali disebutkan bahwa Allah
menciptakan langit dan bumi ini untuk manusia(Q.S. Al-Baqoroh :29)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي
الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ
سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Manusia diberi hak untuk mengelola
alam ini, mengkonsumsi yang dibutuhkan, tetapi di tangan manusia pula diletakan
tanggung jawab pemeliharaan kelestarian alam. Oleh karena tu manusia tidak
boleh sewenang-wenang terhadap alam, karena akan berdampak merusak ekosistem
yang pada gilirannya akan menyulitkan kehidupan manusia itu sendiri. Dalam
perspektif ilmu akhlak, maka manusia pun harus berakhlak kepada alam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Menurut
bahasa (etimologi) perkataan akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq
(khuluqun) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.Akhlak disamakan dengan kesusilaan, sopan santun. Khuluq merupakan
gambaran sifat batin manusia, gambaran bentuk lahiriah manusia, seperti raut
wajah, gerak anggota badan dan seluruh tubuh. Dalam bahasa Yunani kata khuluq
ini disampaikan dengan kata ethicosatauethos artinya adab
kebiasaan, perasaan batin kecenderungan hati untuk melakukan perbuatan. Ethicoskemudian
berubah menjadi etika.
B. Akhlak Kepada Alam
Alam ialah segala sesuatu yang ada
di langit dan di bumi beserta isinya, selain Allah. Allah melalui alquran
mewajibkan kepada manusia untuk mengenal alam semesta beserta isinya.
Manusia sebagai khalifah diberi
kemampuan oleh Allah untuk mengelola bumi dan mengelola alam semesta ini.
Manusia diturunkan ke bumi untuk membawa rahmat dan cinta kasih kepada alam
seisinya. Oleh karena itu, manusia mempunyai tugas dan kewajiban terhadap alam
sekitarnya, yakni melestarikannya dengan baik.4 Ada kewajiban
manusia untuk berakhlak kepada alam sekitarnya. Ini didasarkan kepada hal-hal
sebagi berikut :
1. bahwa manusia hidup dan mati berada
di alam, yaitu bumi
2. bahwa alam merupakan salah satu hal
pokok yang dibicarakan oleh Al-quran
3. bahwa Allah memerintahkan kepada
manusia untuk menjaga pelestarian alam yang bersifat umum dan yang khusus
4. bahwa Allah memerintahkan kepada
manusia untuk mengambil manfaat yang sebesar-besarnya dari alam, agar
kehidupannya menjadi makmur
5. manusia berkewajiban mewujudkan
kemakmuran dan kebahagiaan di muka bumi.5
Manusia wajib bertanggung jawab
terhadap kelestarian alam atau kerusaakannya, karena sangat memengaruhi
kehidupan manusia. Alam yang masih lestari pasti dapat memberi hidup dan
kemakmuran bagi manusia di bumi. Tetapi apabila alam sudah rusak maka kehidupan
manusia menjadi sulit, rezeki sempit dan dapat membawa kepada kesengsaraan.
Pelestarian alam ini waajib dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat, bangsa
dan negara.6
Manusia hidup bergantung pada alam sekitar. Mula-mula mereka
hidup secara berpindah-pindah (nomaden) mencari tempat-tempat yang
menyediakan hidup dan makan. Mereka lalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke
tempat lain setelah bahan makanan habis dan tidak didapat. Namun seiring dengan
kemajuan kehidupan manusia, bukan berarti ketergantungan dan kebutuhannya
terhadap alam semakin berkurang. Mereka tetap membutuhkan alam sekitarnya bagi
kemakmuran dan kesejahteraan hidupnya. Untuk itu, manusia harus menjaga keharmonisan
hubungannya dengan alam dan makhluk di sekitarnya, yaitu dengan cara berakhlak
yang baik kepadanya.Dalam ajaran Islam, akhlak kepada alam seisinya dikaitkan
dengan tugas manusia sebagi khalifah di muka bumi. Allah berfirman :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا
مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لا تَعْلَمُونَ
Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (QS. Al Baqarah[2] : 30).
Akhlak manusia terhadap alam bukan hanya semata-mata untuk
kepentingan alam, tetapi jauh dari itu untuk memelihara, melestarikan dan
memakmurkan alam ini. Dengan memenuhi kebutuhannya sehingga kemakmuran,
kesejahteraan, dan keharmonisan hidup dapat terjaga.
C.
Macam – Macam Akhlak Terhadap Lingkungan Alam
1. Kewajiban
Menanam Tanaman dan Larangan Memusnahkannya
Nabi Muhammad SAW mengimbau kepada
umat Islam agar senang menanan tanaman atau pohon untuk berbagai kepentingan:
baik untuk kepentingan konsumsi (pangan), kepentingan penanggulangan lahan
kritis ( إحيأ الموات ), maupun untuk kepentingan lainnya. Di dalam sebuah hadits
diterangkan
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ
غَرْسًا أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ أَوْ إِنْسَانٌ أَوْ
بَهِيمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ (رواه اليخاري و مسلم والترمذي)
Artinya :
Rasulullah
SAW bersabda, tiadalah seseorang dari kalangan orang Islam yang menanam tanaman
atau menanam (menabur) benih tanaman, kemudian burung ataupun binatang ternak
memakan (buah) tanaman itu, kecuali baginya memperoleh pahala sedekah (H.R.
Bukhari, Muslim dan Tirmidzi, dari Anas).
Berkenaan
dengan kewajiban menanam ini, kiranya perlu dikemukakan sebuah hadis yang
selama ini banyak disebut, yaitu bahwa kewajiban menanam itu bukan hanya
anjuran, tetapi tuntutan, yang memfaedahkan hukum wajib. Nabi SAW bersabda :
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ قَامَتْ السَّاعَةُ
وَبِيَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا يَقُومَ حَتَّى
يَغْرِسَهَا فَلْيَفْعَلْ (رواه احمد)
Artinya
: Rasulullah SAW bersabda, sekiranya kiamat datang, sedang di tanganmu ada anak
pohon kurma, maka jika dapat (terjadi) untuk tidak berlangsung kiamat itu
sehingga selesai menanam tanaman, maka hendaklah dikerjakan (pekerjaan menanam
itu) (H. R. Ahmad, dari Anas bin Malik).
Hadis
tersebut memberi petunjuk, bahwa sekiranya akan terjadi kiamat, dan masih
sempat menanam tanaman, maka Nabi menyuruh agar tanaman itu segera ditanam. Ini
menunjukkan betapa pentingnya kegiatan tanam menanam pepohonan atau tetumbuhan.
Dalam hubungan ini menarik untuk dikemukakan komentar Muhammad Quthb terhadap
hadis ini, seperti yang dikutip Zainal Abidin Ahmad, bahwa sangatlah
mengesankan perintah menanam bibit kurma yang umurnya memakan waktu tahunan,
padahal kiamat sudah berada di ambang pintu. Dikatakannya : Ya Tuhan ! Harus
ditanamkannya? Dan apakah yang mesti ditanam itu? Bibit kurma yang baru
menghasilkan buah setelah bertahun lamanya, padahal kehancuran dunia (kiamat)
sudah pasti dengan yakin akan terjadi. Ya Allah ! Hanya Nabi Islam, penutup
dari segala Nabi, yang akan berhak mengatakan ini. Islam satu-satunya agama
yang mungkin menggerakkan hati manusia untuk berbuat ini, dan hanyalah Nabi
Islam satu-satunya yang mungkin membawa petunjuk demikian dan akan memimpin manusia
lainnya. Inilah sejarah dunia seluruhnya. Tiada contoh bandingan inti ajaran
sebagai ajaran Rasulullah SAW ini.
Adapun
larangan menebang/menghanguskan tanaman atau pepohonan dapat terlihat dari
kisah di mana diriwayatkan bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah,
mengirim pasukan keSyam, dia berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan
(sedapat mungkin) tidak memotong atau menebang pohon di daerah peperangan
itu. Riwayat tentang pesan/wasiat Khalifah Abu Bakar tersebut telah
dikemukakan oleh Malik bin Anas dalam al-Muwaththa’sebagai berikut :
وَإِنِّي
مُوصِيكَ بِعَشْرٍ لَا تَقْتُلَنَّ امْرَأَةً وَلَا صَبِيًّا وَلَا كَبِيرًا
هَرِمًا وَلَا تَقْطَعَنَّ شَجَرًا مُثْمِرًا وَلَا تُخَرِّبَنَّ عَامِرًا وَلَا
تَعْقِرَنَّ شَاةً وَلَا بَعِيرًا إِلَّا لِمَأْكَلَةٍ وَلَا تَحْرِقَنَّ نَحْلًا
وَلَا تُغَرِّقَنَّهُ وَلَا تَغْلُلْ وَلَا تَجْبُنْ (رواه ماللك)
Artinya
: Saya berwasiat kepada anda sepuluh macam : 1) Janganlah membunuh perempuan;
2) Janganlah membunuh anak-anak; 3) Janganlah membunuh orang-orang yang sudah
tua; 4) Janganlah memotong pohon yang sedang berbuah; 5) Janganlah meruntuhkan
bangunan; 6) Janganlah memotong domba; 7) Janganlah memotong unta, kecuali bila
domba dan unta itu untuk dimakan; 8) Janganlah membakar pohon kurma dan jangan
pula menenggelamkannya(memusnahkannya); 9) Janganlah berlaku khianat; dan 10)
Janganlah menakut-nakuti (rakyat) (H. R. Malik, dari Yahya bin Sa’id).
2.
Larangan Boros
Pemborosan
harus dicegah walaupun berada dalam kebaikan. Prinsip ini didasarkan pada ayat
26-27 surat al-Isra’ :
Terjemahnya:
“Dan
berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin
dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara
syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”(Q.S. al-Isra’,
17 : 26-27).
Dan
pada hadis Nabi SAW, bahwa : “Paling banyak membasuh anggota wudhu’
masing-masing adalah tiga kali, meskipun anda berwudhu’ di sungai yang
mengalir.”
Hadis
tersebut berbunyi (artinya):
Dari
Abu Na’amah namanya Qayis bin Abayah, bahwa Abdullah bin Mughaffal (berkata) …,
saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya di antara umat ini akan
ada suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdo’a (H. R. Abu
Daud).
3. Kerusakan
Lingkungan Tanggungjawab Manusia
Kerusakan
lingkungan hidup adalah akibat perbuatan manusia, dan oleh karena itu ia
(manusia) harus bertanggungjawab di dunia dan di akhirat. Prinsip ini
didasarkan pada Q.S. al-Rum, 30 : 41.ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya:Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.S. al-Rum, 30 :
41).
Dari
ayat ini dapat difahami, bahwa kerusakan-kerusakan yang terjadi di muka bumi
ini, baik dalam bentuk kerugian karena perbuatan manusia, ataupun bencana yang
menimpa manusia adalah karena perbuatan manusia sendiri. Musibah yang menimpa
manusia pada hakekatnya adalah natijah dari perbuatannya sendiri. Ini sesuai
dengan hukum kausal. Karena manusia merusak lingkungannya sendiri, maka timbullah
berbagai kesulitan hidup dan malapetaka.
Jadi,
sebagai konsekuensi dari perbuatan melakukan kerusakan itu, manusia harus
bertanggungjawab. Tanggungjawab di dunia berupa : a) kembali sadar dan tidak
mengulangi perbuatannya yang merugikan lingkungan itu, seperti yang
diisyaratkan oleh ayat; b) memperbaiki lingkungan yang telah dirusaknya,
sehingga dapat berfungsi kembali sesuai tujuan penciptaannya; dan c) membayar
ganti rugi, sekiranya perbuatannya itu merugikan negara atau masyarakat.
Sedangkan tanggungjawab akhirat, berupa sanksi yaitu dosa dan neraka. Jadi,
seorang yang merusak lingkungan, harus diberi sanksi, baik sanksi negara maupun
sanksi agama.
4. Perikemakhlukan
Pada
dasarnya peri-kemakhlukan bermakna menghargai seluruh makhluk (biotik dan abiotik),
menempatkannya pada posisi terhormat (muhtaram), dan memperlakukannya
sesuai dengan kehendak Tuhan. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah:
Terjemahnya:
Dan
tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami
lupakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.
Dalam
ayat ini binatang dan burung disebut oleh Tuhan sebagai umat-umat sepeti
manusia (juga). Hal ini didukung oleh beberapa hadis di mana Rasulullah SAW
menyebut binatang, antara lain semut dan anjing, juga sebagai umat. Nabi
bersabda:
Terjemahnya
:
“Dari
Abu Huraerah, dari Nabi SAW : Sesungguhnya pernah seekor semut menggigit salah
seorang Nabi. Nabi tersebut lalu menyuruh untuk mendatangi sarang semut dan
dibakarnya. Tetapi kemudian Allah menurunkan wahyu kepadanya : “Apakah hanya
gara-gara seekor semut menggigitmu lantas kamu akan membinasakan suatu umat
yang selalu bertasbih?” (H.R. Muslim).
Hadis
ini menunjukkan bahwa semut itu juga adalah salah satu umat yang selalu
bertasbih (kepada Tuhan), dan karenanya terlarang membinasakannya. Adapun
tentang anjing, Nabi SAW dalam salah satu hadisnya bersabda
Terjemahnya
:
“Dari
Abdullah ibnMughaffal telah berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda :
Seandainya anjing-anjing bukan ummat dari ummat-ummat (Tuhan), niscaya saya
perintahkan untuk dibunuh” (H.R. Tirmidzi).
Dalam
bentuk aplikatif, prinsip perikemakhlukan ini tercermin dalam sunnah Nabi SAW.
Mengenai kasih sayang kepada binatang, Nabi SAW menjelaskan dalam hadisnya,
bahwa wanita yang mengikat kucingnya kemudian tidak memberi makanan kepada
binatang itu akan masuk neraka kelak di akhirat. Tetapi sebaliknya, orang yang
memberi minum kepada anjing yang akan mati karena kehausan, diampuni dosanya
oleh Tuhan. Nabi SAW bersabda:
Terjemahnya
:
“Dari
Abdullah (Ibnu Umar r.a.), bahwa Nabi SAW telah bersabda, seorang perempuan
disiksa karena seekor kucing yang ditawannya sehingga kucing itu mati, maka
perempuan itu masuk neraka; karena perempuan itu tidak memberinya makan dan
minum, dan tidak pula membiarkannya memakan serangga di muka bumi” (H. R.
Muslim).
Adapun
mengenai tumbuh-tumbuhan, Nabi melarang menebang pohon yang akan berbuah.
Kepada tentara yang mau berperang Nabi mengeluarkan perintah : jangan rusak
pohon korma, jangan cabut pepohonan, dan jangan runtuhkan rumah.
Diriwayatkan
bahwa Abu Bakar, ketika ia menjadi khalifah, mengirim pasukan ke Syam, dia
berpesan agar pasukan dalam melakukan peperangan (sedapat mungkin) tidak
memotong atau menebang pohon di daerah peperangan itu.
Dari
pesan tersebut dapat difahami, bahwa dalam keadaan perang pun sedapat mungkin
dihindari pembabatan pohon-pohon, terutama yang sedang berbuah, karena
pohon-pohon tersebut sangat bermanfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Dalam
kerangka ini pulalah, buah yang belum mencapai kematangannya, dianjurkan untuk
tidak dipetik, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk
itu untuk mencapai tujuan penciptaannya.
Dengan
demikian jelaslah bahwa memelihara dan membangun lingkungan di permukaan bumi
ini adalah ajaran dasar yang sangat penting dalam Islam. Ajaran ini berasal
dari konsep tauhid yang mengandung arti bahwa manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan dan benda tidak bernyawa lainnya, semuanya adalah makhluk
Tuhan. Oleh karena itu semuanya memiliki posisi terhormat, dan karenanya harus
disayangi, dicintai, dan diperlakukan sesuai dengan aturan-aturan Tuhan. Inilah
makna dari prinsip perikemakhlukan itu.
5. Menghidupkan Lahan Mati
Lahan
mati berarti tanah yang tidak bertuan, tidak berair, tidak di isi bangunan dan
tidak dimanfaatkan. Allah swt, telah menjelaskan dalam QS. Yasin (36):
وَءَايَةٌ
لَهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ
يَأْكُلُونَ
Terjemahnya
:
Dan
suatu tanah (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati,
Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan daripadanya biji-bijian, maka dari
padanya mereka makan”.
Kematian
sebuah tanah akan terjadi kalau tanah itu ditinggalkan dan tidak ditanami,
tidak ada bangunan serta peradaban, kecuali kalau kemudian tumbuh didalamnya
pepohonan. Tanah dikategorikan hidup apabila di dalamnya terdapat air dan
pemukiman sebagai tempat tinggal.
Menghidupkan
lahan mati adalah ungkapan dalam khazanah keilmuan yang diambil dari pernyataan
Nabi saw, dalam bagian matanhadis, yakni :
مَنْ
أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ(رواه
الترمذى عن جابر بن عبد الله)
(Barang siapa yang menghidupkan tanah (lahan) mati maka ia
menjadi miliknya).
Dalam hadis ini Nabi saw, menegaskan
bahwa status kepemilikan bagi tanah yang kosong adalah bagi mereka yang
menghidupkannya, sebagai motivasi dan anjuran bagi mereka yang menghidupkannya.
Menghidupkan lahan mati, usaha ini dikategorikan sebagai suatu keutamaan yang
dianjurkan Islam, serta dijanjikan bagi yang mengupayakannya pahala yang amat
besar, karena usaha ini adalah dikategorikan sebagai usaha pengembangan
pertanian dan menambah sumber-sumber produksi. Sedangkan bagi siapa saja
yang berusaha untuk merusak usaha seperti ini dengan cara menebang pohon akan
dicelupkan kepalanya ke dalam neraka. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
saw sebagaimana dalam bagian matan hadis, yakni ;
مَنْ قَطَعَ سِدْرَةً صَوَّبَ اللَّهُ
رَأْسَهُ فِي النَّارِ
(Barang siapa yang menebang
pepohonan, maka Allah akan mencelupkannya ke dalam neraka).
Maksud hadis di atas, dijelaskan
kemudian oleh Abu Daud setelah meriwayatkan hadis tersebut, yaitu kepada orang
yang memotong pepohonan secara sia-sia sepanjang jalan, tempat para musafir dan
hewan berteduh. Ancaman keras tersebut secara eksplisit merupakan ikhtiar untuk
menjaga kelestarian pohon, karena keberadaan pepohonan tersebut banyak memberi
manfaat bagi lingkungan sekitar. Kecuali, jika penebangan itu dilakukan dengan
pertimbangan cermat atau menanam pepohonan baru dan menyiram-nya agar bisa
menggantikan fungsi pohon yang ditebang itu.
6. Kewajiban Memelihara dan Melindungi
Hewan
Salah
satu hadis yang menganjurkan berbuat baik dengan memelihara dan melindungi
binatang dengan cara :
(a)
memberikan makanannya, sebagaimana sabda Rasulullah saw ;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ … وَعَلَى الَّذِي يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ
النَّفَقَةُ
Artinya :
Dari
Abu Hurairah, berkata: Rasulullah saw bersabda : ….“Orang yang menunggangi dan
meminum (susunya) wajib memberinya makanan”. (HR. Bukhari)
(b)
menolongnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّه عَنْهم أَنَّ النَّبِيَّ e قَالَ
بَيْنَا رَجُلٌ بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِالْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ
فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ
الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ
الَّذِي كَانَ بَلَغَ مِنِّي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَا خُفَّهُ مَاءً فَسَقَى
الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّه وَإِنَّ
لَنَافِي الْبَهَائِمِ لَأَجْرًا فَقَالَ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
Artinya :Dari Abu Hurairah,
berkata; Rasulullah saw bersabda : “suatu ketika seorang laki-laki tengah
berjalan di suatu jalanan, tiba-tiba terasa olehnya kehausan yang amat sangat,
maka turunlah ia ke dalam suatu sumur lalu minum. Sesudah itu ia keluar dari
sumur tiba-tiba ia melihat seekor anjing yang dalam keadaan haus pula sedang
menjilat tanah, ketika itu orang tersebut berkata kepada dirinya, demi Allah,
anjing initelah menderita seperti apa yang ia alami. Kemudian ia pun turun ke
dalam sumur kemudian mengisikan air ke dalam sepatunya,
sepatu itu digigitnya. Setelah ia naik ke atas, ia pun segera memberi minum
kepada anjing yang tengah dalam kehausan itu. Lantaran demikian, Tuhan
mensyukuri dan mengampuni dosanya. Setelah Nabi saw, menjelaskan hal ini, para
sahabat bertanya: “ya Rasulullah, apakah kami memperoleh pahala dalam
memberikan makanandan minuman kepada hewan-hewan kami ?”. Nabi menjawab :
“tiap-tiap manfaat yang diberikan kepada hewan hidup, Tuhan memberi pahala”.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas memberikan ketegasan
betapa Islam sangat peduli akan keselamatan dan perlindungan hewan. Bahkan
disebutkan, bahwa bagi yang menolong hewan sekaligus memperoleh tiga imbalan,
yaitu : (1) Allah berterima kasih kepadanya; (2) Allah mengampuni dosa-dosanya;
dan (3) Allah memberikan imbalan pahala kepadanya Di samping sebagai Pencipta,
Allah adalah penguasa terhadap seluruh makhluk-Nya, termasuk binatang. Dia lah
yang memberi rezeki, dan Dia mengetahui tempat berdiam dan tempat penyimpanan
makanann
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ajaran
Islam yang paling mendasar adalah keluhuran akhlak. Sifat ini banyak menentukan
karakter seseorang, khususnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Seseorang yang
berakhlak rendah, ia dibenci dan di asingkan dari masyaraakat. Sebaliknya, ia
dihargai, disegani, bahkan menjadi panutan dalam masyarakat.
Keberadaan
dan kehancuran suatu umat ditentukan oleh akhlak itu sendiri. Selama masih
berakhlak mulia, berarti umat manusia utuh dan jika akhlak mulai lenyap itulah
pertanda hancurnya umat.
Akhlak
kepada Allah merupakan perwujudan dari keimanan kita yang kita tujukkan dengan
ibadah kita. Akhlak kepada sesama manusia berarti kita harus berbuat baik
kepada sesama manusia tanpa memandang kepada siapa orang tersebut, sehingga
kita mampu hidup dalam masyarakat yang aman dan tenteram. Akhlak kepada alam
merupakan bentuk tanggung jawab dan rasa syukur kita kepada Allah dengan segala
sesuatu yang Ia berikan, selain itu karena Allah telah menjadikan kita sebagai
khalifah di muka bumi ini maka kita harus menjaga, melestarikan dan
memanfaatkan segala yang ada di alam ini tanpa berlebih-lebihan.
Daftar pustaka
v
Mustofa,
A, 1997. Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia.
v
Abdullah,
M. Yatimin, 2007, Study Akhlak Tasawuf Dalam Perspektif Islam, Jakarta: Amzah
v
Zaini,
Syahminan, 1996, Isi Pokok Ajaran Al-Qur’an, Jakarta : Kalam Mulia,
v
Muhammad,
Ibnu Al-Walid,Abdullah, 1990, Al-AhaditsAl-Mukhtaroh, Makkah Al-mukarromah :
MaktabahAn-nahdhiyahAl-Haditsah
v
Bin
Al-Husain bin Ali, Ahmad, 1994, Sunan Al-BaihaqiAl-Qubro, Makkah Al-Mukarromah
: Maktabah Dar Al-Baz
v
Shahih Muslim,
Juz IV, h., 1759.
v
Sunan
al-Tirmidzi, Juz IV, h. 78.
v
Shahih Muslim,
Juz IV, h. 1760.
v
ShahihBukhori,
juz II, Hal 817
No comments:
Post a Comment